Yogya, KU
Badan Karantina, merupakan pertahanan terdepan dalam menangkal berbagai penyakit yang mengancam masuk ke Indonesia. Selain bertugas mengatur lalu lintas orang, hewan dan bahan yang terkait dengan distribusi penyakit tertentu. Saat ini, Karantina sedang giat-giatnya berusaha membangun barbagai fasilitas one stop service, dan berupaya melakukan pembenahan fasiltas laboratorium untuk melakukan pengecekan dan pengujian segera dan cepat.
“Di tengah arus globalisasi sekarang ini peran karantina sangat penting mengingat penyakit Avian Influenza (flu burung) dan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang dahulunya menjadi penyakit eksotik (belum ada sebelumnya) tapi sekarang sudah ada,†ungkap Dekan Fakultas Kedokteran Hewan UGM Prof drh Charles Rangga Tabbu, MSc, PhD dalam memberikan sambutan dalam kuliah umum ‘Pasar Global, Karantina dan Daya Saing’ yang disampaikan oleh Kepala Badan Karantina Pertanian Ir Syukur Iwantoro MS, MBA, Rabu (19/9) di Ruang Auditorium FKH UGM.
Sementara dalam kuliah umumnya, Ir Syukur Iwantoro mengakui bahwa tantangan terbesar yang dihadapi Badan Karangtina adalah lemah dalam analisa risiko.
“Basisnya adalah analisa risiko yang berbasis pengetahuan, kita (karantina) boleh menolak impor barang dari negara lain dengan alasan yang bisa diterima secara ilmiah, sedangkan untuk mendukung alasan kita berdasarkan dari hasil uji dari laboratorium yang kita punyai ternyata belum semuanya diakui secara internasional (belum terakreditasi), †imbuhnya.
Saat ini, kata Syukur, posisi Indonesia merupakan negara pengimpor jeroan terbesar di dunia, dimana jumlah impor jeroan lebih tinggi 6-8 kali lipat dari pada jumlah impor daging. Padahal di luar negeri telah menganggap jeroan sebagai makanan sampah karena mengandung berbagai jenis residu racun.
“Jeroan di luar negeri dianggap makanan sampah, karena yang namanya hati dan limpa merupakan sumber residu hormon dan antibiotik,†ujar Kepala Badan Karantina Departemen Pertanian RI ini
Menurut Syukur, kalo pun toh pihak karantina menolak impor jeroan dengan alasan mengandung residu hormon dan racun tertentu di luar batas konsumsi manusia, maka harus bisa dibuktikan secara ilmiah agar bisa diterima oleh WTO (Organisasi Perdaganagn Dunia) dengan mengacu pada standar internasional Sanitary and Phytosanitary Agreeement.
“Jika tidak, ya seperti ini kita selalu kalah dalam perdagangan internasional, produk kita semakin sulit masuk ke negara lain, saat ini buah-buahan dari Indonesia tidak bisa masuk ke uni Eropa, bahkan tidak boleh masuk ke Jepang dengan alasan belum bebas dari lalat buah, selain itu persis semua negara menolak semua produk unggas kita karena adanya wabah AI, sedangkan produk peternakan kita yang diakui bebas PMK tapi belum bebas dari anthrax,†katanya.
Syukur menambahkan, dengan berbagai alasan inilah negara–negara luar menolak ekspor produk pertanian dari Indonesia, sehingga praktis hasil devisa mengalami penurunan yang sangat tajam dalam beberapa tahun terakhir ini. Sementara produk dari luar membanjiri masuk ke Indonesia. (Humas UGM)