Pusat Studi Wanita (PSW) UGM meluncurkan buku Interseksi Gender pada hari Senin (8/3). Peluncuran buku ini dilakukan bersamaan dengan peringatan hari perempuan internasional. Buku kumpulan tulisan dari mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB yang telah mengikuti kuliah Feminisme ini memuat berbagai hasil kajian interseksi gender dari kajian sastra.
Wakil Rektor bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UGM, drg. Ika Dewi Ana, M.Kes.,Ph.D., menyambut baik peluncuran buku soal gender tersebut. Menurutnya, buku yang merupakan hasil kolaborasi mahasiswa dan dosen terhadap kajian gender perlu didorong untuk menjadi referensi dalam studi gender di Indonesia dan dunia. ”Model kolaborasi seperti ini perlu dikembangkan pada kuliah kajian dan studi literatur sehingga dosen dan mahasiswa memiliki banyak perspektif, postulat, pandangan dan pemikiran baru tentang interseksi gender,” paparnya.
Menurutnya, kajian tentang peran dan pandangan perempuan di Indonesia memang harus digalakkan. Sebab, pandangan wanita Indonesia dalam peran dan tugasnya tentu berbeda dari pandangan feminisme barat. “Kita tahu kearifan lokal yang berkembang di masyarakat telah berhasil memuliakan wanita dalam memberikan sumbangsih pada masyarakat,” katanya.
Ia menyebutkan peran wanita di lingkungan pesantren perlu diapresiasi dan dikaji lebih mendalam soal peran Nyai memberikan bidang pendidikan dan pandangan soal fikih, lalu pandangan soal perempuan pada tradisi seminari, serta gerakan Taman Siswa dalam memandang peran perempuan. “Perlu didalami lebih lanjut interseksi gender semacam ini,” katanya.
Peneliti utama PSW UGM sekaligus editor buku, Dr. Wening Udasmoro, mengatakan persoalan interseksi gender tidak lepas hasil interaksi wanita di dalam masyarakat yang harus menghadapi dominasi kelas sosial, etnisitas, agama dan ras. Ketimpangan interseksi gender sering terjadi akibat dominasi sosial dan etnisitas. Ia mencontohkan kelompok etnis-etnis Afro Amerika Serikat menjadi kelompok yang paling dirugikan selama masa pandemi di Amerika Serikat. “Mereka nasibnya paling dirugikan pada awal pandemi karena tidak memiliki akses rumah. Cukup banyak protes selama di bawah politik Donald Trump yang anti kulit hitam dan kulit berwarna,” katanya.
Ia menyebutkan bencana gelombang panas yang melanda Eropa pada tahun 2004 misalnya, justru paling banyak korban adalah para lansia baik laki-laki dan perempuan karena mendapat minim fasilitas AC saat gelombang panas. “Ada ribuan orang meninggal di Perancis, Italia dan di Jerman,” katanya.
Sementara Drg. Fransisca Johana Ikasasi selaku Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Kupang mengatakan buku ini semakin menambah wawasan dirinya untuk mengetahui persoalan gender. “Persolaan gender itu tidak gampang dimengerti banyak orang,” katanya.
Meski ia pernah enam tahun mengurusi pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Kota Kupang, namun untuk mewujudkan kebijakan pengarusutamaan gender dalam setiap kebijakan tidaklah mudah. Ia bersyukur setelah bekerja keras akhirnya terbentuk Dinas Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan. “Saya harus mengawal unit pemberdayaan perempuan dan perlindungan. Kurang lebih 8 tahun. Gender itu harus ada dalam pemerintahaan, pengarusutamaan gender mulai dari perencanaan dan pelaksanaan sehingga kebijakan berbasis gender. Paling tidak membawa kebijakan pemerintah Kota Kupang responsif gender,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson