Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menargetkan semua sekolah sudah melakukan kegiatan pembelajaran tatap muka mulai Juli 2021. Terhadap Program Sekolah Tatap Muka yang tak lama lagi akan berlangsung ini tentu memberi pekerjaan rumah bagi para pemangku kepentingan di daerah.
Pakar Kebijakan Publik UGM, Agustinus Subarsono, M.Si., MA., Ph.D., berpendapat kebijakan tersebut perlu disambut dengan persiapan yang matang. Sebab, pembelajaran daring yang tanpa improvisasi telah membuat monoton dan membawa siswa pada situasi yang membosankan.
“Ya karena hanya berada di depan monitor, orang itu kan makhluk sosial sehingga ada keinginan bertemu dengan teman, guru, bukan sekadar untuk sekolah tapi juga untuk berinteraksi,” katanya di Fisipol UGM, Senin (22/3).
Ia menilai dengan pembelajaran tatap muka lebih menguntungkan dibanding secara daring. Dari kajian yang pernah ia lakukan persepsi siswa jauh lebih mudah pembelajaran dengan tatap muka.
“Apapun rumusnya tatap muka lebih menguntungkan, tapi karena darurat, daring ya dinilai sebagai solusi tepat daripada tidak sekolah sama sekali,” katanya.
Terkait pembelajaran tatap muka di bulan Juli nanti, ia berharap pertama yang perlu dilakukan sekolah adalah menata ruang sekolah, terutama ruang kelas. Karena masih pandemi, kapasitas siswa masuk kelas tidak boleh sama seperti di saat sebelum pandemi.
Sehingga pertanyaan yang muncul kemudian apakah ruang kelas akan cukup jika semua siswa dalam satu sekolah masuk dalam waktu yang bersamaan, sebab dalam satu ruang nantinya hanya dapat diisi sepertiga (1/3) atau separuh (1/2) saja.
“Jika ternyata tidak dapat masuk bersamaan, cara bergantian bisa dipakai sebagai solusi. Itu pendapat saya, jika ruang kelas tidak memenuhi maka dalam seminggu ada 5 hari atau 6 hari pembelajaran, bisa saja masuk 3 hari dan 3 hari di rumah,” ucapnya.
Disamping itu, durasi pembelajaran di kelas nantinya harus dibedakan dengan kondisi sebelum pandemi Covid-19. Jika sebelum pandemi Covid -19 jam belajar 07.30 – 13.00 maka untuk pembelajaran tatap muka bulan Juli 2021 nanti cukup sampai 11.30.
“Menyangkut durasi yang lamanya mungkin 45 menit atau 40 menit perlu diperpendek, agar siswa tidak terlalu lama di sekolah, sebab kepala sekolah dan guru-guru juga mengalami kesulitan dalam mengontrol interaksi di antara mereka di sekolah,” terangnya.
Soal vaksin, menurut Subarsono jika itu bisa dilakukan jauh lebih baik karena soal vaksin ini pemerintah sudah mengagendakan dengan prioritas para tenaga kesehatan, lansia dan lain-lain.
Belum lagi, ini menyangkut ketersediaan vaksin yang ada meskipun pemerintah daerah hanya menerima distribusi dari pemerintah pusat sehingga perlu hitung-hitungan kembali apakah pemerintah pusat dapat mendistribusikan jumlah vaksin berdasarkan jumlah siswa untuk tiap-tiap kabupaten/kota.
“Soal vaksin wajib atau tidak sebelum pembelajaran tatap muka nanti, saya tidak tahu pasti pertimbangan medisnya, apakah kalau anak-anak harus segera divaksin dan bagaimana probabilitas penularannya. Selama ini kan pemerintah sudah mengagendakan,” urainya.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian, menurut Subarsono, di saat program pembelajaran tatap muka adalah upaya mengurangi kerumunan atau mobilitas. Oleh kaena itu, semua siswa harus membawa makanan dan minuman sendiri supaya mereka tidak membeli di kantin yang mungkin menimbulkan kerumunan.
Selanjutnya, pemberian pemahamanan kepada orang tua agar anak yang ke sekolah langsung menuju sekolah. Sehabis sekolah mereka juga diharapkan langsung pulang ke rumah tanpa mampir-mampir, semisal toko, mal atau main ke rumah teman.
“Itu akan lebih aman sehingga orang tua harus mengontrol jam berapa keluar dari sekolah, dan kira-kira sampai rumah jam berapa? Sehingga siswa dari rumah langsung menuju sekolah dan dari sekolah langsung menuju rumah, pulang langsung,” terangnya.
Subarsono menjelaskan perubahan dari daring ke luring mungkin bisa dilakukan secara bertahap. Jadi, pada bulan pertama dan kedua (Juli-Agustus) yang dilakukan mungkin mix (campuran) method, yaitu siswa diberi pelajaran secara luring di sekolah dan kemudian masih melakukan pembelajaran daring di rumah. Setelah bulan ketiga keempat (September-Oktober) dan seterusnya mungkin bisa dilakukan luring secara keseluruhan.
“Barangkali ada transisi yang dilakukan, tidak langsung kemudian semuanya dengan method luring. Tapi dengan syarat normal artinya yang perubahannya stabil. Tapi bila case, ada siswa atau guru terpapar ya mungkin saja kembali ke daring,” urainya.
Kalau soal fasilitas protokol kesehatan di sekolah, Subarsono meyakini, itu kewajiban yang harus dipenuhi masing-masing sekolah. Tiap sekolah sekolah harus menyediakan tempat cuci tangan dengan sabunnya dan lain-lain, dan Dinas Pendidikan diharapkan melakukan inspeksi sebelum kegiatan tatap muka dibuka serta melakukan pengawasan ketika kebijakan tatap muka ini mulai diimplementasikan.
“Yang ingin sampaikan kepada para pembuat kebijakan terutama Dinas Pendidikan, perlu ada rapat yang serius antara kepala-kepala sekolah dan Dinas Pendidikan untuk mengkongkritkan kegiatan luring nanti itu seperti apa. Bukan sekadar diwacanakan tetapi kongkritnya seperti apa? Kepala sekolah mungkin sudah bisa diminta mendata kapasitas ruang yang ada dan jumlah siswa serta melakukan simulasi itu lebih bagus. Karena masing-masing sekolah saat ini tentu menunggu panduan untuk kegiatan luring nanti,” tuturnya.
Kepala Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM, Dr. Diana Setiawati, menambahkan dampak paling rawan akibat pandemi Covid-19 sebenarnya adalah anak-anak usia pra sekolah dan SMA. Anak-anak pra sekolah adalah usia emas, sebab dalam satu tahun yang belum bisa baca mestinya bisa membaca, yang belum jalan bisa berjalan, dan yang belum bisa berbicara bisa berbicara.
Sementara anak-anak usia SMP dan SMA adalah masa-masa membangun identitas diri yang biasanya dieksplorasi melalui cara-cara pergaulan, kehidupan organisasi, pengaruh pertemanan dan lain-lain. Khusus untuk siswa SMA merupakan saat-saat dimana mereka merumuskan masa depannya mau seperti apa, mau melanjutkan kuliah dimana dan sebagainya.
“Ya sebenarnya anak-anak SMP dan SMA ini kehilangan kesempatan. Karenanya dalam situasi seperti ini keluarga memiliki peran yang sangat esensial terhadap hal itu,” ujarnya.
Mesti tidak sepenuhnya hilang kesempatan dan bisa diganti melalui media sosial, tetapi jika tanpa panduan atau supervisi dari orang tua bisa-bisa mereka kesasar dan bisa menjadi kecanduan dengan aneka aplikasi yang ada atau malah kecanduan game.
Diana mengakui sosial media memang bisa menjadi salah satu cara bersosialisasi dan mengeksplorasi diri yaitu dengan membikin forum online dan sebagainya. Tetapi penggunaannya harus secara bijaksana karenanya harus ada yang membimbing.
“Pembelajaran online bisa dua arah, yang positif bisa menjadikan independent learner, tidak harus bergantung pada guru, bisa belajar banyak hal. Belajar tidak harus karena guru, belajar karena tidak harus di suruh, bisa belajar banyak bahasa dan lain-lain. Itu berhasil kalau dia bisa memanfaatkan kesempatan ini,” jelasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto