Sekolah Pascasarjana UGM menggelar The 11th International Graduate Students and Scholars’ Conference in Indonesia (IGSSCI) pada 24-25 Maret 2021. Konferensi kali ini mengusung tema Culture, Technology and Social Transformation in the Quest for Human Dignity.
“Sejalan dengan paradigma baru sebagai universitas berkelas dunia, Sekolah Pascasarjana UGM menyelenggarakan IGSSCI setiap tahun sebagai media publikasi mahasiswa internasional,” terang Dekan Sekolah Pascasarjana UGM, Prof. Ir. Siti Malkhamah , M. Sc., Ph.D, Rabu (24/3).
Konferensi ini, lanjutnya, diperuntukkan bagi akademisi, peneliti, dan praktisi Sekolah Pascasarjana untuk bertukar pengetahuan dan informasi dalam area ilmu sosial dan teknologi secara luas.
Ketua Panitia Pelaksana IGSSCI, Dicky Sofjan, Ph.D., mengungkapkan sebanyak 150 abstrak diajukan untuk IGSSCI kali ini. Sementara itu, jumlah pembicara yang dihadirkan berjumlah 100 pembicara yang berasal dari 7 negara.
Penyelenggaraan IGSSCI hari pertama diisi dengan paparan kunci dari Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Philips Vermonte, Ph.D., bertajuk “Covid-19 and Us: The Changes in our Culture, Technology and Society in the Time of Pandemic and Beyond”.
Pandemi Covid-19, terang Philip, menunjukkan bagaimana seluruh negara di dunia, baik yang kaya maupun miskin, baik yang memiliki sistem kesehatan yang kuat maupun lemah, sama-sama rentan terhadap dampak dari penyebaran virus.
Menurutnya, terdapat dua ironi dari kondisi ini, yang pertama adalah bahwa Covid-19 dapat menyebar secepat kilat karena dunia yang kita hidupi saat ini lebih terkoneksi dari sebelumnya, utamanya karena teknologi transportasi yang telah banyak berubah dalam beberapa dekade terakhir.
“Manusia dan berbagai macam produk dengan mudah berpindah lintas negara, yang sebelum pandemi dianggap sangat menguntungkan. Sekarang pergerakan yang tidak terbatas mungkin menjadi enabling factor yang paling signifikan di balik penyebaran virus,” ucapnya.
Selain itu, pandemi Covid-19 telah memaksa kita untuk memikirkan ulang hubungan antara bentuk pemerintahan terhadap kelincahan negara dalam mengatasi pandemi. Sebelum pandemi, mungkin terdapat asumsi bahwa negara demokratis secara inheren berada di posisi yang lebih baik untuk mengatasi pandemi secara efektif.
Negara demokratis diasumsikan secara intrinsik berorientasi pada pelayanan publik dan lebih responsif untuk melindungi kehidupan masyarakatnya, sementara sebaliknya negara non-demokratis akan gagal untuk mengatasi pandemi.
“Tapi asumsi ini dipatahkan ketika kita melihat indikator performa negara-negara dalam 12 bulan terakhir. Ternyata negara non-demokratis juga bisa mengatasi pandemi secara efektif,” imbuhnya.
Usai sesi pembuka ini, IGSSCI dilanjutkan dengan sesi pleno dengan tema “Heartware, Culture and Ecological Crisis” dengan menghadirkan tiga pembicara, yaitu Maharani Hapsari, Ph.D. dari Universitas Gadjah Mada, Assoc. Professor Zeeda Muhammad dari Universiti Malaya, dan Fackhruddin Majeri Mangunjaya, Ph.D. dari Universitas Nasional, yang kemudian dilanjutkan dengan dua sesi paralel dan sesi pleno kedua.
Penulis: Gloria