Lebih dari satu tahun masyarakat dunia berhadapan dengan Covid-19. Sayangnya, hingga kini masih saja beredar beragam informasi yang tidak tepat / hoaks seputar virus SARS Cov-2 ini. Adanya disinformasi tersebut banyak menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Berangkat dari kondisi tersebut, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM mengadakan webinar bertajuk Mitos Vs Fakta Seputar Covid-19; Pencegahan, Vaksin, Diagnosis, dan Terapi pada Rabu (24/3). Kegiatan yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat terkait Covid-19 ini merupakan bagian dari kegiatan peringatan Dies Natalis ke-75 dan Lustrum XV FKKMK UGM.
Menghadirkan dua narasumber dari Departemen Penyakit Dalam FKKMK UGM yakni Pakar Pulmonologi, dr. Ika Trisnawati, M.Sc., Sp.PD-KP., FINASIM., dan Pakar Alergi Imunologi, dr. Deshinta Putra Mulya, M.Sc., SP.PD-KAI., FINASIM.
dr. Deshinta Putra Mulya, M.Sc., SP.PD-KAI., FINASIM., mengatakan banyak bermunculan hoaks seputar vaksin di tengah pelaksanaan program vaksinasi nasional Covid-19. Salah satunya adalah vaksin Covid-19 membahayakan. Ia menegaskan jika hal tersebut tidak tepat, sebab dalam pembuatan vaksin telah melalui serangkaian penelitian panjang baik untuk melihat kemampuan membentuk antibodi, efek samping, hingga efikasi.
“Jadi, pernyataan vaksin Covid-19 berpotensi membahayakan itu tidak benar karena sudah melalui penelitian yang panjang dan setelah diberikanpun dilakukan observasi lagi,” terangnya.
Deshinta menyebutkan masih terdapat sejumlah informasi lain seputar vaksin Covid-19 yang tidak benar ramai diperbincangkan seputar vaksinasi di masyarakat. Beberapa diantaranya yaitu vaksin moderna dirancang untuk mengubah DNA manusia dan vaksin Covid-19 memiliki chip untuk melacak orang.
“Tidak benar vaksin Covid-19 ada chipnya, tidak bisa chip dimasukan melalui injeksi,” tuturnya.
Berikutnya pernyataan tentang vaksin Covid-19 telah bermutasi menjadi ribuan Covid-19 baru di seluruh dunia. Deshinta menjelaskan jika hal tersebut tidak benar, sebab virus Covid-19 dalam vaksin telah dimatikan sehingga tidak akan menimbulkan mutasi.
“Lalu, tidak perlu mematuhi protokol kesehatan setelah divaksin Covid-19 itu juga salah karena antibodi tidak langsung terbentuk setelah vaksin. Selain itu, efikasi masing-masing vaksin beda, tidak ada yang 100 persen sehingga masih ada peluang terinfeksi,” paparnya.
Sementara dr. Ika Trisnawati, M.Sc., Sp.PD-KP., FINASIM., menyampaikan dari awal penyebaran virus corona baru hingga saat ini banyak beredar hoaks melalui berbagai platform media. Hoaks terbaru yang beredar menyebutkan jika pasien Covid-19 tidak dapat lagi terinfeksi kembali karena sudah memiliki kekebalan. Pernyataan tersebut tidak benar, meskipun sudah ada kekebalan tetapi kekebalan akan turun setelah 2-3 bulan dan saat terjadi penurunan bisa berisiko terinfeksi lagi.
Ika menjelaskan informasi minum mecobalamin dapat mengobati anomsia sebagai gejala Covid-19 tidaklah benar. Sebab, pengobatan untuk anosmia tidak menggunakan jenis obat-obatan tersebut. Demikian halnya dengan penggunaan obat herbal China Lianhua Qingwen tidak dapat membantu mengurangi perburukan kondisi Covid-19.
“Sebenarnya Lianhua itu obat herbal yang memiliki kandungan untuk turunkan demam, bersihkan dahak saluran pernafasan, meringankan nyeri tenggorokan. Obat ini memang bisa membantu tapi bukan mengurangi perburukan kondisi pasien Covid-19,” jelasnya.
Lalu, tentang mutasi virus Covid-19 sangat mematikan, Ika mengatakan informasi tersebut tidaklah tepat. Dari sejumlah penelitian diketahui mutasi virus Covid-19 memang terbukti memiliki daya infeksi yang lebih besar. Namun begitu, belum terdapat bukti ilmiah yang menyebutkan mutasi Covid-19 menjadi sangat mematikan.
“Mutasi terbukti mudah menularkan, tetapi belum ada laporan kalau mutasi menjadi sangat mematikan,” pungkasnya.
Penulis: Ika
Foto:Ilustrasi