Pariwisata masih menjadi sektor penyedia kesempatan kerja terbesar di Bali dan berkontribusi tinggi pada ekonomi Bali secara umum. Perkembangan kepariwisataan Bali dalam dua dekade terakhir (2000-2019) tetap didominasi oleh produk berupa atraksi-atraksi mass tourism. Salah-satu kecenderungan yang cukup menonjol dari trend tersebut adalah meningkatnya pertambahan atraksi-atraksi pariwisata baru yang sering dinobatkan sebagai atraksi pariwisata berbasis alam. Hampir di setiap kawasan strategis muncul atraksi pariwisata yang disulap dari sekedar atraksi budaya biasa menjadi kawasan tematik, seperti taman yang menghadirkan suasana alam bebas.
Kendati demikian, di balik gemuruh perkembangan kepariwisataannya, Bali sebagai destinasi pariwisata, sesungguhnya menyimpan persoalan yang cukup serius, terutama dalam aspek keseimbangan sumber daya alam. Hal itu berupa kurang meratanya pembagian ‘kue pariwisata’ antar wilayah maupun lapisan masyarakat dan berkurangnya solidaritas sosial.
Topik inilah yang diangkat dalam Seminar Series Nasional Kepariwisataan ke #11 yang diselenggarakan oleh Prodi S3 Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana UGM pada Selasa (23/3) malam kemarin. Tema yang diangkat adalah “Dinamika Ekowisata Tri ning Tri di Bali”.
Seminar ini menghadirkan pembicara Dr. I Nyoman Sukma Arida, S.Si, M.Si dari Fakultas Pariwsata, Universitas Udayana. Sukma juga merupakan alumni dari S3 Kajian Pariwisata SPS UGM. Sementara itu, hadir sebagai pembahas adalah Prof. Dr. Sudarmadji, M.Eng.Sc, guru besar Fakultas Geografi UGM dan dimoderatori oleh Bayu Sutikno, SE., M.S.M, Ph.D., dosen FEB UGM.
Dalam paparannya Dr. Sukma, mengatakan bahwa di tengah situasi demikian, sulit menemukan wujud dari ekowisata Bali. Namun, menurutnya, beberapa pihak sejak tahun 1990-an tetap konsisten memperjuangkan berkembangnya ekowisata di Bali — Jaringan Ekowisata Desa. Belakangan beberapa desa wisata juga menjadikan aspek konservasi sebagai basis pengembangannya.
Ia kemudian mengungkapkan tentang program pendampingan dan promosi desa wisata yang dirinya lakukan melalui godevi.id. Dari program tersebut, ia mendapati adanya pergeseran nilai keotentikan dan orisinalitas alam Bali yang bercirikan pariwisata budaya yang bernafaskan filosofi Tri Hita Karana. Beberapa atraksi baru yang dikembangkan oleh investor asing dengan kekuatan yang besar akibat terbukanya kebijakan pemerintah untuk membuka investasi asing.
Lebih lanjut, Sukma menjelaskan bahwa temuan dari hasil penelitiannya yang bertujuan untuk memahami tipologi ekowisata di Bali dan kekuatan dominan yang melatarbelakangi munculnya berbagai tipe, bentuk dan wujud produk ekowisata. Ia mengatakan bahwa di Bali ekowisata dapat ditipologikan dalam tiga tipe: yaitu investor, pemerintah dan masyarakat. “Masing masing tipe ekowisata memiliki ciri yang berbeda berdasarkan produk, strategi pengembangan, pola pelibatan masyarakat dan karakter wisatawan,” terangnya.
Selain itu, Sukma juga menyoroti adanya pseudo-ekowisata di Bali, atau ekowisata semu. Dalam pseudo-ekowisata ini kegiatan pariwisata tampak seperti ekowisata pada umumnya, tetapi peran masyarakat lokal di sekitar obyek ekowisata termarginalkan.
Ia kemudian juga memberikan contoh kasus di Desa Taro yang muncul sebagai Gerakan Desa Wisata sebagai perlawanan halus atau counter wacana terharap hegemoni wisata gajah atau sebagai representasi investor besar. “Desa Taro merupakan desa dengan tipe ekowisata hybrid yaitu percampuran antara investor-pemerintah-masyarakat,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Sukma berharap pendemi Covid-19 ini dapat menjadi refleksi bagi destinasi wisata di Bali apakah langkah yang benar dilakukan adalah benar-benar ekowisata atau pseudo-ekowisata. Hal itu karena melalui pandemi ini sektor pariwisata diminta rehat sejenak sehingga menjadi waktu yang tepat untuk merefleksikan langkah kedepannya.
Sebagai pemapar Prof. Sudarmadji menyoroti pentingnya keberlanjutan desa wisata atau destinasi ekowisata. Ia menyebut bisa jadi permasalahan terjadi dari pengelolaan maupun dari wisatawan. Maka dari itu, ia menyarankan untuk selalu memperhitungkan kondisi lingkungan ketika mengembangkan obyek wisata. Hal itu yakni dengan mempertimbangkan kapasitas jangan sampai terjadi overcapacity.
“Jangan sampai lingkungan diabaikan dan hanya berkonsentrasi pada kenaikan pendapatan dan kesejahteraan. Sebab, jika daya dukung dan daya tampung lingkungan terlampaui, maka akan membuat kerugian yang lebih besar pada semua aspek,” pungkasnya.
Penulis: Hakam