Guru Besar Fakultas Teknik UGM, Prof. Dr. Ir. KMT. Sunjoto Kusumosanyoto Dip,HE.DEA, menyebut bahwa sejumlah daerah di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara telah mengalami defisit ketersediaan air. Kondisi ini telah terjadi sejak tahun 1980-an dan memerlukan upaya penanganan yang segera untuk memastikan ketersediaan air bagi generasi mendatang.
“Di Indonesia yang mulai defisit air Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Memang tidak seluruhnya, tapi faktanya defisit saat ini sudah sangat besar,” terangnya, Kamis (25/3).
Ia menerangkan ketersediaan air yang dimaksud adalah kebutuhan air untuk hidup, yang di Indonesia besarannya dihitung antara 1.500 – 2.000 Liter per hari per kapita.
Kebutuhan ini bukan hanya meliputi kebutuhan air domestik rumah tangga untuk makan, minum, mandi, dan mencuci, tetapi juga kebutuhan lainnya seperti untuk pertanian dan peternakan sebagai industri penyedia sumber makanan.
Papua menjadi salah satu daerah dengan surplus air yang paling besar karena memiliki wilayah yang luas dan curah hujan yang tertinggi serta jumlah penduduk yang relatif sedikit.
Sementara itu, Pulau Jawa dan Bali sebenarnya memiliki curah hujan yang tinggi, tidak seperti Nusa Tenggara yang cenderung memiliki curah hujan rendah, namun mengalami defisit air karena kepadatan penduduk cukup tinggi.
“Ini yang perlu mendapat perhatian lebih, meskipun tidak berarti yang di pulau-pulau lainnya tidak perlu diperhatikan juga,” imbuhnya.
Pria yang dianugerahkan Kalpataru sebagai Pembina Lingkungan berkat temuan formula perhitungan dimensi Sumur Peresapan Air Hujan ini mengungkapkan banyak masyarakat belum memahami kondisi ini karena masih memperoleh akses terhadap air bersih sepanjang tahun, sementara masyarakat yang tinggal di daerah tertentu sudah mulai merasakan kesulitan untuk memperoleh air ketika memasuki musim kemarau.
Padahal, menurutnya, air yang tersedia di bawah tanah sudah sangat menipis, dan air yang saat ini dinikmati oleh masyarakat, terutama masyarakat perkotaan, sebenarnya adalah cadangan air yang seharusnya diperuntukkan bagi generasi mendatang.
“Kita tidak merasa kekurangan air, tapi kita ini sudah menggunakan hak generasi mendatang. Ini yang tidak kita sadari,” ungkap Sunjoto.
Menurut Sunjoto, cukup sulit untuk mengubah kondisi defisit air menjadi surplus. Meski demikian, upaya menuju hal tersebut harus dilakukan. Pemerintah maupun masyarakat dapat mengambil bagian dalam upaya ini melalui cara-cara vegetatif maupun konstruktif.
Cara vegetatif misalnya berupa penghutanan kembali pada area yang berstatus hutan, namun secara fungsi telah berubah karena vegetasi di dalamnya telah ditebang. Selain itu, menurutnya, lahan-lahan kosong yang tersebar di berbagai tempat harus ditanami dengan pohon untuk meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah.
“Penghijauan bisa di mana saja, harapan kami lahan kosong di pinggir jalan juga bisa ditanami. Bagi saya cara vegetasi itu tetap yang terbaik,” jelasnya.
Sementara itu, cara konstruktif yang dapat dilakukan adalah dengan membangun sistem peresapan air hujan, baik berupa sumur resapan, parit resapan, maupun taman resapan.
“Seharusnya rumah-rumah dibangun agar air hujan yang jatuh di halamannya tidak keluar ke jalan, tetapi diresapkan ke halamannya masing-masing. Dengan begitu, sungai-sungai tidak banjir, dan sumur-sumur punya persediaan air yang banyak,” kata Sunjoto.
Penulis: Gloria