Bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar pada hari Minggu (28/3) mengundang perhatian banyak pihak. Mengundang perhatian karena peristiwa tersebut terjadi di tengah fenomena ekstremisme dan terorisme di Indonesia yang sesungguhnya relatif surut.
Dr. Muhammad Najib Azca selaku Kepala PSKP UGM mengatakan insiden besar bom terakhir adalah peristiwa bom Sarinah dan bom Surabaya yang melibatkan satu keluarga. Dengan munculnya peristiwa bom di Makassar menunjukkan isu atau persoalan ekstremisme dan terorisme ini masih belum selesai.
“Meskipun sudah berkurang secara signifikan, kalau dibandingkan dengan fase-fase awal tahun 2000-an. Kita masih ingat di tahun 2002 terjadi bom Bali, bom ini efek destruksinya luar biasa, jatuh korbannya banyak. Rentetan berikutnya di tahun 2005, 2006 dan 2007 masih terjadi beberapa kali. Ini dilakukan oleh kelompok atau jejaring yang sama yang kira-kira berafiliasi atau terkait dengan Jamaah Islamiyah,” katanya, di Kampus UGM, Senin (29/3).
Najib berpendapat terhadap aksi-aksi yang lama pemerintah relatif berhasil melemahkan jejaring ini. Meski begitu kemudian muncul jejaring-jejaring baru termasuk aksi-aksi yang belakangan ini.
Menurut Najib pasca 2010 semua aksi terorisme relatif sudah dengan jaringan baru. Paling terakhir oleh jamaah Ansharut Daulah dengan jejaring-jejaringnya dan dengan berbagai variannya. Beberapa kali melakukan aksi tetapi korban yang jatuh kecil bahkan kadang-kadang pelaku bom sendiri sebagai korbannya.
Sangat berbeda dengan aksi-aksi awal, peristiwa bom Bali misalnya, pelakunya hanya beberapa dengan korban ratusan. Sedangkan bom Sarinah para pelaku aksi bom lebih banyak meninggal dibanding korbannya. Demikian pula dengan bom di Surabaya jauh lebih banyak pelakunya yang meninggal dunia.
“Ini artinya apa? Artinya kemampuan atau kapasitas melakukan aksi terorisme kemungkinan menimbulkan kematiannya justru lebih kecil. Hanya saja, aksi terorisme ini meskipun kecil tetapi menimbulkan efek ketakutan yang besar. Seperti sekarang ini kan hampir-hampir korbannya pelakunya itu sendiri,” terangnya.
Ia menjelaskan karakter esktremisme terorisme gaya lama dan gaya baru berbeda. Terorisme yang terjadi saat ini lebih tidak terorganisasi. Terorisme lama melibatkan banyak pelaku tetapi eksekutornya hanya 1 atau 2 orang saja.
Sementara terorisme akhir-akhir ini lebih tidak terorganisasi bahkan sebagian aksi adalah aksi individual sehingga karakter ekstremisme terorismenya lebih sulit dideteksi karena sebagian tidak melibatkan simpul-simpul jejaring.
“Jadi, setelah peristiwa ini dimana-mana memberitakan terutama medsos gencar kan. Sesungguhnya target terorisme saat ini kan efek ketakutan, kalau dibandingkan aksi-aksi terorisme di Afganistan, di Syria jauh, mungkin disana sekali bom bisa jatuh korban 200 atau lebih. Disini hampir beberapa tahun ini kan tidak ada aksi besar, lebih dari 10 korban itu tidak ada yang di luar aktor, dan lebih banyak aktornya yang menjadi korban,” ucap dosen Departemen Sosiologi, Fisipol UGM.
Meskipun hanya kelompok-kelompok kecil saat ini, kata Najib, mereka tetap melakukan rekrutmen. Sebagai gerakan bawah tanah dan kelompok yang tidak muncul di permukaan maka jumlahnya tidak banyak tetapi tetap aktif mencari simpul-simpul dan mencari pengaruh.
Data terakhir dari BNPT atau Densus ada sekitar 6 ribu anggota atau pendukung Jamaah Islamiyah, dan itupun hanya 10 persen anggota yang aktif dan lainnya hanya sebagai simpatisan. Sementara untuk JAD lebih sulit lagi untuk dideteksi.
Najib menyebut rekrutmen paling aktif dilakukan adalah melalui medsos, meskipun hal tersebut tidak selalu mudah. Riset-riset terakhir mengenai rekrutmen TKW yang bekerja di luar negeri itu adalah sasaran oleh kelompok-kelompok ini.
Para TKW Indonesia ini, katanya, sebagai orang yang tereleniasi dari wilayahnya atau tercerabut dari daerah asalya. Sehingga para TKW Indonesia di luar negeri ini biasanya mengalami kegalauan dan dengan lingkungan tidak begitu dikenal.
Mereka rata-rata memiliki internet yang bagus dan menghabiskan waktunya dengan berselancar di dunia maya mencari berbagai informasi di internet. Mereka biasanya kemudian terekpose oleh ajaran-ajaran radikalisme, dan kemudian mengikuti kelompok-kelompok pengajian.
“Biasanya mereka dilihat dan didekati oleh kelompok-kelompok ini. Lalu, didekati lalu direkrut lalu masuk pengajian telegram dan mereka memilih lebih banyak menggunakan telegram yang konon sistem keamanannya lebih tinggi dibandingkan whatsap. Itu kira-kira rekrutmen tetap berlangsung dengan personal, kecil-kecil dan tidak banyak, tapi sekali dapat seperti sekarang ini, efeknya bisa seluruh dunia dengar,” terangnya.
Untuk pendanaan, kata Najib, sumbernya bermacam-macam yaitu ada yang individual dan kelompok-kelompok kecil. Meski begitu, sebagian besar dari mereka memiliki kemampuan ekonomi bagus, seperti aktor pelaku bom Surabaya yang berasal dari golongan ekonomi menengah.
Aktor pelaku bom Surabaya adalah seorang pebisnis. Ia memiliki uang, rumah bagus di kompleks real estat. Karenanya kelompok ini tidak dapat diremehkan dalam artian tidak selalu mereka adalah orang miskin, bahkan mereka adalah orang terdidik dan secara ekonomi berkecukupan.
“Tidak harus dananya besar-besaran dan berasal dari luar negeri, bahkan dana-dana lokal saja. Memang faktor utamanya memang soal ideologi bagaimana pengaruh keyakinan ekstrem bahwa membunuh orang kafir itu pahalanya surga. Kelompok inipun sama dengan bom Surabaya, kira-kira keyakinannya memerangi orang kafir itu jihad pahalanya surga. Bahkan yang Surabaya itu kan mengajak anak-anaknya,” ujarnya.
Menurut Najib sudah banyak yang dilakukan pemerintah dari tahun 2000 sampai sekarang dalam memerangi ekstremisme dan terorisme. Artinya pemerintah sudah melakukan langkah-langkah strategis untuk mereduksi destruksi yang cukup besar. Untuk saat ini, menurutnya, yang utama perlu dilakukan adalah melakukan fungsi deteksi.
Intelijen yang dilakukan oleh pemerintah bisa bekerja dengan pimpinan-pimpinan masyarakat/ tokoh-tokoh masyarakat karena bagaimanapun pemerintah sumber dayanya terbatas. Densus dan BNPT memiliki sumber daya yang terbatas.
“Kalau tidak partisipatif ya tidak mungkin. Kira –kira kesadaran terorisme sebagai musuh bersama itu betul-betul luas, harus melibatkan banyak tokoh dan kemudian mereka pro-aktif terhadap sesuatu yang berpotensi, perlu melakukan langkah-langkah preventif, langkah-langkah persuasif hingga melaporkan kepada lembaga negara bila kemungkinan ada ancaman yang lebih tinggi,” tuturnya.
Penulis : Agung Nugroho