Yogya, KU
Lebih dari 95 persen peralatan dan perbekalan medis yang digunakan oleh rumah sakit di negara berkembang masih impor. Padahal, peralatan medis tersebut 30 persen tidak berfungsi karena penggunaannya tidak disertai petunjuk yang lengkap dan tidak dilengkapi alat-alat tambahan.
Hal tersebut disampaikan oleh Dr. dr. P. Sudiharto, Sp.BS, salah satu dari dua orang peraih Anugerah Hamengku Buwono IX Award 2009, di malam orasi yang digelar di Keraton Yogyakarta, Sabtu (19/12) malam. Selain Sudiharto, Prof. Dr. Ir. Soekotjo, M.Sc. juga meraih anugerah yang sama.
Dalam orasinya, Sudiharto mengatakan produksi alat kesehatan lokal masih sedikit jumlahnya dan kalaupun ada pasti dikendalikan oleh perusahaan multinasional. Sudiharto mengemukakan negara berkembang, seperti Indonesia, umumnya masih relatif miskin akan teknologi hasil pengembangan sendiri. Oleh karena itu, diperlukan inovasi teknologi kesehatan buatan lokal.
Salah satu temuan Sudiharto adalah alat terapi untuk penderita hidrosefalus, yang dikenal dengan nama ‘alat pirau’ dengan katup semiluner. Alat ini telah dikembangkan sejak 1978 dan hingga kini telah dipasang kurang lebih pada 7.000 pasien hidrosefalus. Pasien tersebut mempunyai berbagai macam penyebab, mulai dari bayi berumur 11 hari sampai dengan orang tua berusia 65 tahun.
Dikatakan Sudiharto, penggunaan sistem pirau katup semiluner bermanfaat karena desain dan produk dapat dibuat di dalam negeri. Di samping itu, desainnya juga dapat disesuaikan dengan umur dan jenis penyakit pasien. Ketahanan sistem pirau dapat mencapai lebih dari 20 tahun. ”Setiap tahunnya di RS Sardjito berkisar 70-80 pasien hidrosefalus setiap tahunnya,” kata staf pengajar Fakultas Kedokteran UGM ini.
Sementara itu, Prof. Soekotjo dalam pidato orasinya menyampaikan teknik silvikultur intensif (SILIN) yang mampu meningkatkan produktivitas hutan sehingga dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Guru Besar Fakultas Kehutanan ini menyebutkan SILIN adalah teknik silvikultur yang diupayakan untuk memadukan tiga elemen utama, yakni spesies target yang dimuliakan, manipulasi lingkungan, dan pengendalian hama terpadu.
Rektor UGM, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., dalam pidato sambutannya mengatakan penganugerahan menggunakan nama HB IX Award merupakan salah satu bentuk penghargaan UGM atas jasa HB IX yang telah menyediakan waktu dan pikiran untuk rakyat, juga kepeduliannya dalam memajukan pendidikan UGM dahulu. ”UGM menggunakan nama HB IX untuk memberikan anugerah penghargaan kepada insan-insan yang bekerja untuk rakyat dan keadilan,” katanya.
Ditambahkan Sudjarwadi, penganugerahan ini tidak terbatas pada bidang ilmu tertentu, tetapi semua ilmu yang telah dimanfaatkan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan masyarakat luas. ”UGM mengucapkan selamat kepada beliau-beliau ini. Semoga penganugerahan ini bisa mendatangkan kebahagiaan, memberi manfaat, dan teladan bagi generasi penerus,” imbuh Sudjarwadi.
Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan penyerahan anugerah HB IX Award telah menjadi tradisi yang menandai peringatan Dies Natalis UGM dan memperoleh tempat di kalangan akademisi serta masyarakat. Anugerah HB IX Award ini menurut Sultan merupakan penghargaan yang tinggi nilainya meskipun sejumlah uang yang diserahkan tidaklah sepadan dibandingkan dengan pengabdian dan pencapaian prestasi para penerima anugerah.
Penganugerahan kepada Prof. Ir. Soekotjo dan Dr. dr. P. Sudiharta, Sp.BS adalah atas rekomendasi Tim Majelis Guru Besar UGM. Penganugerahan terutama didasarkan atas prestasi dr. Sudiharta dalam menciptakan karya inovatif yang spektakuler di bidang pengembangan teknologi medis yang berguna untuk kemanusiaan. Sementara Prof Sukotjo dinilai berjasa dalam pengembangan sistem silvikultur untuk pelestarian hutan.
Menurut Sri Sultan, temuan alat terapi untuk penderita hidrosefalus oleh dr. Sudiharto merupakan temuan yang sungguh luar biasa di tengah arogansi manajemen rumah sakit yang menjauhkan rasa empati terhadap kemanusiaan. ”Sungguh sesuatu yang pantas kita syukuri bersama karena telah berhasil menyelamatkan sekitar 7.000 pasien dengan biaya yang teramat murah” kata Sri Sultan.
Selain penderita hidrosefalus, pompa untuk mengurangi cairan otak hingga setengah volume awal ini juga dibutuhkan oleh pasien penyakit stroke, trauma kepala akibat kecelakaan, tumor otak, radang otak atau maningitis yang memiliki gejala sama. ”Harganya yang berkisar 1,5-1,7 juta rupiah tentu jauh lebih terjangkau daripada alat buatan luar negeri yang bisa mencapai 40 juta rupiah,” tambahnya.
Sementara Prof. Sukotjo, menurut Sri Sultan merupakan pakar silvikultur, yakni ilmu pengetahuan yang menyangkut aspek pemuliaan pohon, manipulasi lingkungan, dan pengendalian hama penyakit. ”Beliau telah berkali-kali memberikan peringatan tentang bahaya deforestasi dan degradasi hutan yang berdampak negatif terhadap kehidupan karena berpotensi mengakibatkan bencana alam,” jelasnya. Sistem silvikultur, tambah Sri Sultan, dapat digunakan sebagai cara untuk membentuk hutan dengan struktur dan komposisi yang sesuai dengan lingkungan sekitarnya.
Kepada kedua penerima anugerah penghargaan, Sri Sultan berharap agar penghargaan tidak hanya bermakna bagi penerimanya, tetapi pengabdian keduanya yang tak kenal lelah dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. (Humas UGM/Gusti Grehenson)