Ketika seorang ilmuwan atau insinyur bermain laboratorium tantangannya adalah membawa hasilnya ke dunia nyata.
“Lab itu, sejak masih pendidikan dulu sampai mengepalai lab sendiri di kampus, menjadi satu dunia tersendiri. Begitu dibawa keluar untuk dipromosikan seolah-olah kita bertemu dengan dunia lain,” ujar Ahmad Agus Setiawan, ST., M.Sc., Ph.D., Staf Ahli Presiden Bidang Energi, dalam Webinar Diseminasi dan Kick Off Duta Transformasi Kementrian Keuangan Tahun 2021” yang digelar Rabu (31/3).
Agus mengatakan bahwa sejak dahulu hingga sekarang Indonesia perlu percepatan transisi energi. Menurutnya, ketergantungan pada bahan bakar fosil di negara kita ini sudah mencapai tahap kecanduan. Padahal, tren dunia, kewajiban, maupun situasi sekarang ini memaksa kita untuk berpikir bahwa bahan bakar fosil itu ada batasnya dan pada akhirnya dapat habis juga.
“Sekarang waktunya kita untuk memikirkan energi lain sebagai alternatif yang lebih berkelanjutan untuk 100 tahun kedepan atau lebih. Bahkan, negara yang sudah aman energinya seperti Amerika saja masih meneliti terus menerus mengenai energi terbarukan ini,” paparnya.
Agus menyebut bahwa kini adalah momentumnya. Hal itu tepatnya karena kini pengaplikasian sains dan teknologi sedang pesat-pesatnya didorong oleh situasi pandemi. Meskipun demikian, ia mengungkapkan bahwa hal tersebut tidaklah mudah. Seperti ceritanya tadi bahwa tantangan bagi seorang engineer atau ilmuwan adalah membawa hasil riset mereka ke dunia nyata.
Agus berangkat dari ASEAN Science and Tech Fellowship pada 2018. Kala itu, ia diberikan pemahaman bagaimana membawa sains dan teknologi untuk mempromosikan pembuatan kebijakan based on evidence. Program ini berlangsung hingga tahun 2019, tetapi ia masih berhubungan dekat dengan rekan-rekannya di sana.
Lalu, ketika pandemi melanda dunia pada awal 2020, Agus bersama rekan-rekannya tersebut melihat. melihat bagaimana menangani kasus semacam ini betul-betul membutuhkan pendekatan sains dan teknologi. Dan ternyata hal itu tidaklah gampang karena keduanya harus bersama-sama untuk menentukan kebijakan yang tepat.
Hal tersebut, menurut Agus, serupa dengan kondisi yang spesifik melanda Indonesia pada kurun waktu 2004 dan 2006. Ketika tsunami dan gempa bumi melanda Indonesia, dirinya merasa tidak berdaya karena melihat rekan-rekannya juga banyak yang menjadi korban.
Agus mengungkapkan dirinya bersama rekan-rekan di UGM telah membuat penelitian untuk memasok energi dan air berkelanjutan. Namun, penelitian itu masih tertahan di laboratorium karena belum mendapat wadah mengaplikasikannya. Akhirnya, pada tahun 2007 ada call for proposal dari UNESCO, pihaknya lantas mengikutinya.
“Dengan kerja sama dengan akademisi Australia serta bantuan dari teman-teman UGM, kita menghasilkan proposal proyek yang riil berbasis visi bahwa ini akan diaplikasikan dari lab yang kita punya. Syukur proposal kami yang berjudul Development of Sustainable Power and Water Supply for Remote Areas and Disaster Response and Reconstruction in Indonesia ini berhasil menjuarai Mondialogo Engineering Award 2007 itu,” paparnya.
Sejak saat itu, Agus selalu membayangkan bagaimana memanfaatkan energi terbarukan untuk Indonesia yang kepulauan ini. “Dari menjawab tantangan tentang how to bring that from laboratorium into real itulah saya terus melangkah hingga saat ini. Sampai menjadi staf ahli kepresidenan ini juga. Saya hanya menjawab panggilan dari Ibu Pertiwi ini agar lebih sejahtera,” pungkasnya.
Penulis: Hakam