Yogya, KU
Belum adanya payung hukum yang mengatur tentang layanan veteriner (kesehatan hewan) menyebabkan penanganan masalah penularan penyakit hewan ke manusia menjadi tidak optimal, lantaran bidang kesehatan masyarakat veteriner masih di bawah Direktorat Jenderal Peternakan.
Demikian yang disampaikan ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Drh. Wiwiek P. Bagdja, usai mengikuti pembukaan ‘Workshop On Wildlife and Exotic Animal Medicine’, dalam rangka Dies Natalis ke 61 Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Jumat (16/11).
“Tidak ada representasi profesi Dokter Hewan secara kelembagaan di pemerintahan pusat maupun daerah untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan tertinggi menyebabkan penangangan kasus penularan penyakit hewan ke manusia tidak optimal,†ujarnya.
Juru bicara PDHI ini mengemukakan Pemerintah belum sepenuhnya menerima keberadaan profesi kedokteran hewan secara kelembagaan apalagi dilibatkan dalam pengambilan keputusan tertinggi sejajar dengan profesi kedokteran umum.
“Di Indonesia belum ada satu pun aturan undang-undang yang mengatur tentang layanan veteriner, dengan dibentuknya Direktorat Jenderal (Ditjen) Veteriner padahal dinegara lain sudah ada sejak lama. Komisis IV DPR, baru saja pulang berkunjung ke Australia guna melakukan studi banding, mereka baru tahu sejak mempelajari beberapa aturan hukum yang mengatur bidang veteriner, ada 64 lho di sana, di sini (Indonesia) satu pun belum ada,†tukasnya.
Wiwik mencontohkan, beberapa negara persemakmuran inggris seperti Malaysia, India dan Singapura sudah membuat Undang-undang layanan veteriner yang diadopsi dari Inggris.
“Semua mengacu undang-undang yang dibuat Inggris, kita tahu Inggris memiliki legislasi veteriner yang paling kuat, sudah ada sejak berabad-abad lalu,†katanya.
Menurut wiwik, diperlukan segera UU layanan veteriner yang mengatur dan memposisikan secara tepat peran profesi dokter hewan karena selama ini penanganan kasus penularan flu burung ke manusia dijadikan kewenangan kedokteran manusia.
“Siapa yang bertanggungjawab dalam pengambilan keputusan nasional soal penyakit hewan yang menulari manusia maupun tidak, padahal kasus ini mestinya bukan hanya ditangani oleh orang yang hanya berilmu kedokteran saja, tapi juga kedokteran hewan, seharusnya ini yang perlu kita posisikan dan perjelas,†ujarnya.
Dekan Fakultas kedokteran Hewan UGM Prof drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD dalam sambutannya mengemukakan, jenis satwa liar dan hewan eksotik sangat begitu beragam dan hanya ditemukan di Indonesia bahkan juga ada yang terancam punah sehingga perlu mendapat perhatian semua pihak.
“Peranan dokter hewan dalam bidang tersebut dirasakan masih sangat kurang sehingga perlu berbagai upaya kesadaran berbagai profesi dokter hewan misalnya dengan cara memasukkan dalam kurikulum pengajaran dan berbagai kegiatan seminar serta pelatihan,†katanya.
Menurut Caharles, kegiatan workshop ini juga sebagai ajang interakasi dan saling tukar informasi para dosen, mahasiswa dan praksitisi di lapangan baik nasional dan internasional agar dapat menambah wacana baru dalam ilmu satwa liar dan hewan eksotik di Indonesia.
Beberapa pembicara yang hadir mengisi workshop ini diantaranya Dr. Darin Collin dari Worldland Park Zoo, Seattle, Amerika dan Dr Sharon Redrobe dari Bristol Zoo Gardens, Bristol, Inggris (Humas UGM)