Pilihan demokrasi bagi Indonesia bukanlah pilihan yang keliru. Banyaknya masalah menyusul terjadinya demokratisasi, tidak harus menjadi alasan kembali pada sistim otoriter, sebagaimana yang pernah diterapkan di zaman Orde Baru. Karena sangat besar ongkos sosial dari sistim tersebut.
“Yang harus diupayakan adalah terjadinya konsolidasi demokrasi bagi semua kekuatan politik. Bahwa demokrasi adalah sistim yang harus tetap dipertahankan at all cost,†ungkap Prof Dr Muhadjir M Darwin, di Balai Senat UGM, Rabu, (11/4).
Hal itu disampaikannya saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Dirinya menyampaikan orasi berjudul “Revitalisasi Nasionalime Madani Dan Penguatan Negara Di Era Demokrasiâ€.
Agar demokrasi tidak membawa Indonesia pada kehancuran, kata Prof Muhadjir, maka Indonesia harus kembali pada jati diri bangsa. “Meminjam istilah Tukul Arwana, kita perlu kembali ke laptop, bukan bagi-bagi laptop,†katanya.
Artinya, selama ini sebagai bangsa telah kehilangan rasa kebersamaan, yaitu dengan mengemukanya berbagai konflik komunal karena perbedaan agama, ras, suku, atau kelas sosial. “Kita tidak mungkin mengatasi masalah tersebut, dengan menghilangkan perbedaan atau menghilangkan pluralitas masyarakat. Kita juga tidak mungkin membangun semacam tembok Berlin yang menyekat wilayah-wilayah berdasarkan pembagian suku atau agama dan membiarkan masing-masing mengembangkan eksklusivisme,†tambah pria kelahiran Yogyakarta 1 Januari 1953 ini.
Kata Prof Muhadjir, jika yang dipilih adalah “menerima dan memanfaatkan perbedaanâ€, maka mau tak mau Indonesia harus kembali ke jati diri bangsa dengan melakukan revitalisasi terhadap visi kebangsaan yang digagas para founding fathers. “Yang saya sebut disini sebagai nasionalisme madani, yaitu konsep kebangsaan yang dibangun berdasarkan pengakuan dan penghormatan secara timbale balik antarwarga atau kelompok masyarakat yang berbeda agama, kepercayaan, ideology, etnisitas, identitas gender, atau kelas ekonomi, dan kesediaan diantara mereka untuk hidup secara damai,†tandas alumnus School of Public Administration, University of Southern California, USA tahun 1990.
Oleh karena itu, agar tercipta kehidupan sosial yang aman, harmonis, adil, dan sejahtera, kata Muhadjir, negara harus mempunyai kapasitas dan kemauan kuat untuk menciptakan situasi aman bagi seluruh warga. Negara tidak boleh dibiarkan berada dalam kondisi lemah dan tidak pula dibiarkan menjadi negara yang gagal.
“Dengan begitu, penguatan negara dalam kerangka demokrasi haruslah menjadi agenda pertama. Pengalaman panjang di bawah Orde Baru yang represif dan korup serta euforia demokrasi, menjadikan rakyat tidak mudah percaya pada pemerintahnya, sehingga apapun kebijakan yang dibuat pemerintah selalu dianggap keliru oleh masyarakat. Namun, disisi lain, elemen-elemen negara, politisi, birokrat, militer atau aparat penegak hukum, bukannya berinvestasi untuk menumbuhkan kepercayaan rakyat dengan menunjukkan sikap dan perilaku terpuji yaitu dengan menjaga rasa keadilan masyarakat, tetapi justru secara terus menerus memproduksi ketidakpercayaan public (public distrust). Oleh karena itu, kedepan para stakeholder negara harus mampu mengembangkan kebijakan dan perilaku public yang bertanggung jawab, serta memproduksi public trust, sehingga memiliki kewibawaan dalam menangani berbagai masalah yang mendera masyarakat,†tukas suami Bromida Etiyawati, ayah empat putra ini. (Humas UGM).