Dampak krisis iklim telah dirasakan oleh warga Kota Yogyakarta (Jogja) selama beberapa tahun tahun terakhir ini. Krisis iklim di kota ini hadir dalam bentuk kekeringan berkepanjangan dan banjir yang muncul di beberapa wilayah yang semula tidak rentan terhadap banjir.
Banjir pun semakin parah di wilayah-wilayah yang telah menjadi langganan banjir. Belum lagi fenomena angin puting beliung dan krisis iklim ini juga telah menyebabkan anomali cuaca.
“Semua ini menjadikan musim kemarau dan penghujan tidak lagi dapat diprediksi berdasarkan hitungan bulan kalender,” ujar Dr. Ir. Zainal Arifin, MT, tenaga ahli dan peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral UGM), saat berlangsung Obrolan Bike bertema “Was-was Iklim Jogja Gak Jelas, Kamis sore (22/4).
Dalam konteks Jogja, salah satu kontribusi terbesar atas krisis iklim adalah polusi dan karbon yang dihasilkan dari penggunaan kendaraan bermotor. Hasil penelitian Pustral UGM pada tahun 2015 menyebut sumbangan terbesar emisi karbon di Kota Jogja berasal dari sumber bergerak dan lebih dari 60 persen emisi karbon di kota ini berasal dari penggunaan kendaraan bermotor pribadi.
Sementara itu, studi Walkability dan Bikeability yang telah dilakukan bersama kampanye Jogja Lebih Bike di awal tahun ini menemukan faktor yang mendorong orang memilih moda transportasi yang lebih ramah lingkungan khususnya bersepeda adalah ketersediaan fasilitas dan kondisi kesehatan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong peningkatan kondisi infrastruktur jalur dan fasilitas sepeda agar momentum penggunaan moda yang ramah lingkungan ini tidak terkikis sehingga upaya untuk mengurangi polusi udara dan menyehatkan atmosfer Kota Jogja dapat terwujud.
“Terlebih lagi ketika bersepeda saat ini menjadi gaya hidup, pemerintah perlu memberikan ruang dan fasilitas yang lebih baik untuk memfasilitasi kebutuhan green life style,” jelasnya.
Zaenal menandaskan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Jogja menjadi salah satu penyebab utama. Menyitir data BPS Yogyakarta pada 2016 hingga 2020 telah terjadi peningkatan kepemilikan mobil penumpang sebesar 32 persen dan sepeda motor mencapai 55,1 persen. Kondisi ini diperparah dengan semakin minimnya ruang terbuka hijau sebagai penghasil oksigen yang dapat mengurai gas rumah kaca dari kendaraan bermotor berbahan bakar fosil.
“Hingga saat ini, luas ruang terbuka hijau di Kota Jogja tercatat baru mencapai 23 persen yang terdiri dari 15,4 persen ruang terbuka hijau privat dan 8,12 persen untuk ruang terbuka hijau publik,” tandasnya.
Obrolan Bike bertema Was-was Iklim Jogja Gak Jelas diselenggarakan Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM bersama Jogja Lebih Bike, SP Kinasih, Jaringan Gusdurian dan Mitra Kencana. Turut sumbang pemikiran Titi Soentoro (SP Kinasih), Gus Roy (Jaringan Gusdurian), Donny Andhika (cyclist vlogger) dan Zukkhrofa Rizkiana Ramadhani sebagai pemandu.
Titi Soentoro, salah satu pendiri AKSI untuk Gender, Social and Ecological Justice, mengatakan meski perubahan iklim berdampak negatif kepada semua orang, tetapi kaum perempuanlah sebagai kelompok yang paling rentan. Apalagi kelompok rentan ini juga mengalami marginalisasi dalam kebijakan dan pembangunan sehingga menjadikan beban ekonomi lebih besar terlebih bagi mereka yang terlibat dalam sektor pertanian dengan berbagai dampak kesehatan yang harus ditanggung.
“Perubahan iklim selain belum menjadi isu strategis di Jogja, meski sudah ada Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui Pergub No.51 Tahun 2012, tetapi belum diikuti dengan aksi di tingkat kabupaten atau kota terkait aksi dan kebijakan perubahan iklim, termasuk kerangka kerja yang mengukur dampak aksi lingkungan pada mitigasi dan aksi iklim, terlebih yang memiliki perspektif gender. Padahal, aspek gender sudah menjadi mandat global dalam skema penanganan perubahan iklim UNFCCCl,” katanya.
Berbagai aksi telah dilakukan untuk menyikapi perubahan iklim. Hanya saja aksi-aksi tersebut perlu lebih mempertimbangkan konteks mitigasi, respons darurat, adaptasi ataupun recovery perubahan iklim.
Menurut Titi, kebutuhan paling mendesak saat ini adalah perlunya sebuah payung hukum yang mewadahi kebijakan perubahan iklim, kebijakan dan aksi lingkungan yang belum terintegrasi dengan gender perspektif di Jogja. Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu mempertegas dan memperjelas rencana kerja dalam berbagai sektor termasuk dalam kebijakan transportasi yang belum diintegrasikan dengan isu iklim dan gender.
“Kebijakan pembangunan harus dipertegas khususnya berkaitan dengan berkurangnya tutupan lahan hijau, alih fungsi lahan produktif untuk pembangunan, tidak adanya fasilitas kendaraan umum yang memadai (aman dan nyaman). Integrasi gender dalam semua elemen kebijakan yang belum sepenuhnya dijalankan, termasuk kebijakan lingkungan,” paparnya.
Selain perhatian, aksi nyata dan kebijakan strategis dari pemerintah, dalam menghadapi masalah krisis iklim ini diperlukan pula peran aktif masyarakat. Salah satunya seperti aksi ramah iklim yang sudah dimulai warga Jogja melalui gerakan Jogja Lebih Bike (www.jogjalebihbike.id). Ini adalah sebuah gerakan yang mendorong masyarakat untuk membantu mengurangi emisi karbon dari kendaraan bermotor di Jogja dengan bersepeda.
“Bersepeda mungkin upaya sederhana, namun saya percaya jika dilakukan bersama-sama, aksi ini dapat memberikan dampak yang nyata bagi kualitas udara yang lebih baik di kota Jogja. Saya sangat senang menjadi bagian dari gerakan Jogja Lebih Bike yang telah menginspirasi begitu banyak warga Jogja untuk melakukan aksi nyata untuk kotanya. Jadi, Ayok Lur, mulai bersepeda untuk Jogja yang lebih bike,” ucap Donny Andhika.
Sementara itu, menanggapi isu iklim di Jogja, Gus Roy Murtadho dari Jaringan Gusdurian menyatakan agama itu harus membumi. Oleh karena itu, katanya, dari teori menuju aksi, dari percakapan menuju tindakan.
“Manusia pada hakikatnya bertugas menjadi khilafah Allah di atas bumi. Untuk itu kita semua apapun latar belakang dan agama perlu berperan untuk menjaga alam dan memulai perubahan sekecil apapun di sekitar kita untuk iklim bumi yang lebih baik,” katanya.
Obrolan Bike sebuah platform komunikasi yang merupakan inisiasi beberapa gerakan dan organisasi masyarakat sipil yaitu Jogja Lebih Bike, SP Kinasih, Jaringan Gusdurian, Pusat Studi Logistik dan Transportasi (Pustral) UGM dan Mitra Wacana untuk meningkatkan kesadaran publik tentang isu iklim dan dampaknya bagi kota Jogja. Menyambut Hari Bumi dan bulan Ramadan, Jogja Lebih Bike bersama para mitra mengadakan Ngabuburide Challenge. Kegiatan ini akan dilaksanakan pada hari Jumat, 23 April 2021 hingga 1 Mei 2021 dan mengajak masyarakat Jogja untuk ngabuburit dengan bersepeda.
Penulis: Agung Nugroho
Foto : Tribunnews. com