Belum lama ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaunching Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB). BNPB menginisiasi Hari Kesiapsiagaan Bencana dengan mengajak semua pihak meluangkan satu hari untuk melakukan latihan kesiapsiagaan bencana secara serentak pada 26 April.
Inisiasi dari BNPB menjadikan tanggal 26 April sebagai Hari Kesiapsiagaan Bencana tersebut bertujuan untuk membudayakan latihan secara terpadu, terencana dan berkesinambungan guna meningkatkan kesadaran, kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat menuju Indonesia Tangguh Bencana.
Dr. Agung Harijoko., S.T., M.Eng, Kepala Pusat Studi Bencana UGM, berpendapat kesiapsiagaan bencana adalah bagian dari usaha penurunan risiko bencana. Komponen risiko bencana tersebut adalah adanya ancaman atau bahaya, kerentanan dan kapasitas.
Dari ketiga komponen tersebut, menurutnya, yang bisa ditingkatkan dalam rangka menurunkan risiko bencana adalah kapasitas. Peningkatan kapasitas ini salah satunya adalah meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat.
“Kesiapsiagaan harus selalu ditingkatkan dan pada umumnya dilakukan pada saat bahaya belum terjadi,” ujarnya di Kampus UGM, Selasa (27/4).
Ia berpendapat inisiasi dari BNPB soal Hari Kesiapsiagaan Bencana ini penting, sebab semua pihak akan diingatkan untuk selalu meningkatkan kesiapsiagaan. Peningkatan kesiapsiagaan tidak boleh kendor dan setiap saat harus dilakukan.
“Dengan adanya inisiasi untuk meluangkan waktu akan selalu mengingatkan kita akan pentingnya peningkatan kesiapsiagaan,” katanya.
Hal lumrah yang sering terjadi, menurutnya, sesuatu yang sudah dilakukan kemudian tidak terjadi ancaman bencana biasanya manusia jadi lengah, padahal yang sering terjadi bahaya bencana datang tidak dengan pemberitahuan. Oleh karena itu, sebagai antisipasi semua pihak diajak untuk menjaga semangat kesiapsiagaan dengan cara-cara saling mengingatkan.
Ia mengakui dengan adanya pandemi Covid-19 yang juga sebagai suatu bencana sedikit banyak menurunkan kesiapsiagaan terhadap bencana alam karena bencana alam terkadang datang serta tidak akan memandang apakah sedang ada pandemi atau tidak.
Adanya pandemi Covid-19 yang cukup panjang (1 tahun) dan belum memperlihatkan tanda-tanda akan berakhir tentu membuat konsentrasi atau perhatian terhadap kesiapsiagaan bencana alam menurun. Belum lagi dengan adanya pandemi maka ada prosedur-prosedur baru yang harus ditempuh dan diselaraskan dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana alam.
“Karenanya jika latihan bersama sulit dilakukan, paling tidak setiap individu atau dalam satu keluarga bisa mempersiapkan kesiapsiagaan terhadap bencana secara mandiri. Pengalaman mengajarkan kemampuan untuk menyelamatkan diri sendiri bisa mengurangi jumlah korban, walaupun tidak berarti tidak memperhitungkan keselamatan orang lain,” terangnya.
Agung Harijoko menandaskan masyarakat biasanya lebih siap menghadapi bencana jika di daerahnya seringkali terjadi bencana. Kondisi ini akan berbeda dengan daerah/ wilayah yang mengalami bencana alam dengan dengan periode perulangan dalam kurun waktu yang panjang dan ini menjadikan masyarakat lupa bahwa di daerah mereka pernah terjadi bencana.
“Sebagai contoh di Indonesia selama ini bencana meteorologi lebih banyak berupa banjir, tetapi jarang terjadi siklon tropis yang melanda daratan sehingga kesiapsiagaan masih rendah karena kurangnya antisipasi,” paparnya.
Untuk itu ia berharap sosialisasi dan peringatan ancaman bahaya dan juga propaganda kesiapsiagaan bencana harus selalu digalakkan. Perlu terus diadakan sebagai propaganda peningkatan kesiapsiagaan.
“Kesiapsiagaan dalam arti luas dan kepada semua kalangan karena bencana tidak akan pilih-pilih korbannya,” imbuhnya.
Penulis: Agung Nugroho
Foto: metrobali.com