Kongres V Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PPK) kembali digelar pada tahun 2021 ini. Kongres ini akan digelar pada 7-8 Mei mendatang di Balai Senat UGM. Sebelum menuju acara puncak tersebut, digelar pula pra kongres yang diisi dengan seminar daring.
Pra kongres ini dibuka dengan seminar daring yang digelar pada Minggu (2/5) siang. Sebagai pembuka topik yang diangkat adalah “Grand Design dan Roadmap Pendidikan dan Budaya Pancasila dalam Sistem Pendidikan Nasional”. Seminar ini digelar melalui platform Zoom dan disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube Pusat Studi Pancasila UGM.
Pada pembukaan seminar, Prof. dr. Sutaryo, Sp.A(K), selaku salah satu inisiator Kongres PPK ini menjelaskan bahwa sama seperti sebelumnya, semangat yang dibawa kongres kali ini tetap ingin mengembalikan marwah Pancasila dalam pendidikan di Indonesia. Namun, menurutnya, konteks kali ini lebih memberikan landasan yang lebih kuat untuk melaksanakan tujuan tersebut.
Prof. Taryo menyebut perkembangan teknologi menyebabkan batas-batas antar bangsa semakin tipis. Hal ini memperparah problem melemahnya Pancasila di kalangan pemuda. Oleh karena itu, seperti yang telah disadari ketika menginisiasi Kongres PPK ini, hanya melalui pendidikan, baik dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, pembudayaan Pancasila dapat dilakukan.
“Tujuan Kongres PPK adalah untuk mengembalikan pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan untuk bangsa sendiri, bukan untuk bangsa asing. Untuk membentuk karakter bangsa, dengan cara bangsa sendiri,” terangnya.
Sementara itu, Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., IPU, ASEAN Eng., menyetujui hal tersebut. Menurutnya, pasca reformasi memang seakan-akan anak didik tidak mengenal Pancasila. Mereka hanya mendengar Pancasila secara samar-samar, tetapi tidak diajarkan secara mandiri setelah diterapkannya UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003.
Akibatnya, Panut menyebut terjadi apa yang disebut dengan kekosongan ideologi di negeri ini. Maka dari itu, kemudian munculah ideologi-ideologi trans-nasional seperti radikalisme dan terorisme yang masuk dan menghegemoni anak muda Indonesia. Mereka mempelajarinya dari internet atau medsos tanpa pendampingan dari seorang guru.
“Kejadian seperti di Makassar dan Mabes Polri merupakan contoh dari hal tersebut. Aktor pelaku dari kedua kasus itu tidak lain adalah anak muda dari generasi-generasi pengkonsumsi perkembangan teknologi yang pesat ini, yakni milenial,” ujarnya.
Atas kejadian tersebut, Panut mengajak untuk merefleksikan kenapa begitu mudah anak muda terkena bujuk rayu radikalisme dan terorisme. Ia kemudian mengajak untuk kembali mencari akar persoalan bagaimana agar Pancasila dasar negara menjadi landasan pokok dasar berpijak dari pendidikan nasional.
Panut mengingatkan bahwa bangsa yang besar adalah yang mempunyai pendidikan dan pengajaran yang berbasis pada kebudayaannya sendiri. Pancasila sebagai dasar negara digali dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat sehingga perlu diabstraksikan ke dalam sistem pendidikan nasional.
“Seperti kata Nelson Mandela, pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Dan ambruknya sistem pendidikan akan mengarah pada ambruknya negara tersebut. Dengan demikian, Indonesia harus membangun pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan serta tantangan masa mendatang,” ungkapnya.
Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC, Ph.D., Dirjen Dikti RI, dalam acara tersebut menyinggung tentang program “Merdeka Belajar, Kampus Merdeka”. Tujuan utama dari program tersebut adalah melahirkan insan pelajar Pancasila.
“Pelajar Pancasila memiliki karakter yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, berkebinekaan global, bergotong royong, serta kreatif. Dari hal itu kami ingin agar pelajar Indonesia menjadi pelajar yang berkompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila,” terangnya.
Penulis: Hakam