Menghadapi Hari Raya Idulfitri 1442 H pemerintah memberlakukan kebijakan pelarangan mudik untuk semua warga masyarakat. Kemudian secara khusus melalui Surat Edaran Kementerian Dalam Negeri diinstruksikan pelarangan kegiatan buka puasa bersama selama bulan Ramadan dan menginstruksikan kepada seluruh pejabat/ASN di daerah untuk tidak melakukan open house/ halalbihalal dalam rangka Hari Raya Idulfitri.
Menurut Epidemiolog UGM, dr. Riris Andono Ahmad, MPH., Ph.D., dilakukan atau tidak kebijakan tersebut tetapi jika kemudian orang patuh terhadap aturan itu maka tentu akan efektif. Sebab, bagaimanapun risiko penularan akan meningkat seiring peningkatan mobilitas.
“Jadi, dengan semakin mengurangi mobilitas ya tentunya akan meningkatkan efektivitas dari aturan atau larangan tersebut. Hanya saja seberapa besar efektivitasnya sangat bergantung pada mobilitas penduduk,” ujarnya di Kampus UGM, Kamis (6/5).
Ia menambahkan dengan atau tanpa melihat angka kenaikan penularan virus di beberapa negara, seperti India, Nepal atau Malaysia sudah seharusnya aturan semacam itu dilakukan karena di Indonesia sendiri penularannya sudah sangat meluas. Apalagi Indonesia saat ini boleh dibilang sedang beruntung karena jika melihat kurva epidemiknya maka di bulan Januari-Februari sempat tinggi dan sudah mengalami penurunan dari puncak. Untuk itu, sudah saatnya kini bersama-sama mempertahankan situasi yang membaik ini agar tidak naik kembali.
“Kalau kemudian kita lengah, ya peningkatan penularan akan terjadi lagi. Pastinya kita bisa berkaca apa yang terjadi di beberapa negara dan itu sebagai trigger, bahwa situasi bisa berubah dengan tiba-tiba, dan seperti India begitu sangat cepat dalam waktu satu bulan peningkatannya sangat luar biasa tinggi. Apalagi kita saat ini juga akan merayakan Idulfitri sebentar lagi,” katanya.
Untuk kenaikan penularan sangat tinggi yang mungkin terjadi, kata Riris, bisa disebabkan banyak faktor. Bisa karena strain baru virus, tetapi bisa juga disebabkan masyarakat sudah merasa lelah menghadapi pandemi ini.
Menurut Riris semua faktor bisa saling berkombinasi meningkatkan angka penularan. Bisa juga karena euforia ketersediaan vaksin sehingga seperti di India diperbolehkan perayaan agama dan masyarakat abai terhadap protokol kesehatan.
“Bisa karena muncul strain virus baru, bisa juga karena kelelahan menghadapi pandemi, artinya tidak hanya satu penyebab, tetapi semuanya berkombinasi mungkin yang membedakan proporsinya yang berbeda-beda,” terangnya.
Ia menjelaskan jika pemerintah melakukan pembatasan-pembatasan pergerakan masyarakat saat ini sesungguhnya cukup bisa dimaklumi, sebab bila terjadi peningkatan kasus infeksi melebihi sistem kesehatan yang ada tentu penularan virus akan semakin tidak terkendali. Seperti di bulan Januari-Februari 2021 Sistem Kesehatan Indonesia sudah mengalami kedodoran ketika menangani kasus per harinya selalu naik dan paling tinggi di angka 12 ribu.
“Ini nanti kalau peningkatan kasusnya sampai puluhan ribu, seperti di India, Nepal dan negara-negara lain, sistem kesehatan kita tentu tidak akan bisa menangani, itu yang dikhawatirkan,” ucapnya.
Oleh karena itu, untuk mempertahankan kondisi yang sudah membaik ini maka menaati 5 M adalah sebuah keniscayaan sambil menunggu vaksin secara merata diterima masyarakat. Sebab, dengan vaksin dan menjaga pencegahan dengan 5 M dinilai akan mampu menekan angka penyebaran virus baru.
“Vaksin memang untuk beberapa orang tidak bisa melepaskan diri terkena infeksi, tetapi vaksin tersebut masih bisa melindungi dari keparahan penyakit dan kematian,” tuturnya.
Riris menandaskan semua orang harus sadar bahwa risiko penularan ada pada individu, jika seseorang semakin tinggi mobilitasnya maka risiko terinfeksi juga tinggi. Oleh karena itu, jangan mengharapkan itu terjadi dari orang lain tetapi itu dimulai dari diri sendiri.
Oleh sebab itu, untuk mengurangi ancaman tersebut maka mobilitas sambil melakukan protokol kesehatan secara konsisten akan menghindarkan diri dari penularan dan membantu orang-orang di sekitar dari penularan. Tidak hanya itu, jika mau bercermin dari kebijakan negara lain maka ditambah dengan membatasi jumlah orang persatuan waktu yang ada di sebuah tempat.
“Mestinya harus ada aturan yang membatasi seberapa banyak orang berada di sebuah tempat per satuan waktu, itu adalah upaya mengurangi kerumunan apakah di restoran, mal, pasar dan lain-lain. Bukan malah kemudian membiarkan begitu saja, asal sudah mengunakan masker dan protokol kesehatan tapi tidak ada pembatasan terhadap jumlah orang yang ada. Kalau perlu ya ada sanksi jika melebih,” pungkas Riris.
Penulis : Agung Nugroho
Foto: travel.detik.com