Konflik antara Palestina dengan Israel kembali memanas. Konflik bermula dari upaya Israel menggusur paksa warga Palestina yang bermukim di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur, dan warga pemukiman meresponnya dengan unjuk rasa dan dibalas dengan blokade oleh polisi Israel serta ancaman pengusiran kepada siapapun yang terlibat unjuk rasa.
Ketegangan semakin meningkat pasca kerusuhan yang terjadi di Masjid Al Aqsa, Jumat (7/5) malam, ketika polisi Israel membubarkan warga Palestina yang tengah melaksanakan shalat tarawih. Kemudian, pada Senin (10/5) faksi Hamas di Jalur Gaza menembakkan roket ke arah Tel Aviv dan sejumlah wilayah Israel lainnya sebagai respons atas tindakan Israel di Yerusalem. Serangan roket Hamas itu dibalas Israel dengan membombardir Jalur Gaza menggunakan jet tempur yang mengakibatkan kerusakan bangunan dan korban jiwa.
Dr. Siti Mutiah Setiawati, MA, pengamat politik Timur Tengah dan juga dosen Departemen Hubungan Internasional UGM, mengatakan meski bukan murni konflik agama, tetapi juga tidak bisa dikatakan bukan sebagai konflik agama. Persoalan yang terus berulang ini karena pada awalnya bangsa Yahudi yang beragama Yahudi menginginkan kembali ke wilayah Palestina yang sudah diduduki bangsa Arab – Palestina selama ribuan tahun.
Menurutnya, orang-orang Yahudi ini memang pernah tinggal di wilayah Palestina, tapi kemudian Kristen datang dan terakhir mereka itu diusir oleh Nebukadnezar dari Romawi. Ada banyak versi soal ini tetapi mereka diusir oleh bangsa Romawi setelah Kristen datang karena yang dianggap menyalibkan Yesus itu orang Yahudi.
“Orang Yahudi itu menolak ajaran Nabi Isa atau Yesus Kristus dan mereka menyalibkan. Jadi, disini ada konflik antara Yahudi dan Nasrani sehingga itu berarti konflik agama to? Kemudian mereka menjadi bangsa yang tersebar di beberapa negara di Eropa, Amerika dan Amerika Latin, ada juga yang ke Asia tapi tidak fenomena karena jumlahnya sedikit,” ujarnya di Kampus UGM, Selasa (18/5).
Karena mereka di Eropa Timur mengalami diskriminasi oleh orang-orang Eropa, demikian pula di Jerman didiskriminasikan oleh Nazi. Karena yang berkuasa Hittler Nazi mereka disia-siakan dan berikutnya mereka mempunyai ide untuk kembali ke tanah Palestina.
“Itu dimulai sejak 1897, ketika ada Konggres Zionis Internasional mereka ingin kembali ketanah Palestina. Karena tanah Palestina dikuasai Inggris pada waktu itu memang berada di bawah mandat Inggris, mereka mengajukan kepada Inggris untuk mau memberikan tanah Palestina kepada bangsa Yahudi, 1897, kemudian 1917 Deklarasi Balfour dari James Arthur Balfour yang intinya Inggris menyetujui tanah Palestina sebagai national home wilayah Bangsa Yahudi, padahal disana sudah ada orang Arab-Palestina,” terangnya.
Menurut Siti karena merasa memiliki legalitas maka orang Yahudi merasa berkuasa karena sudah mendapatkan izin dari Pemerintah Inggris. Dalam hal ini, nampaknya Pemerintah Inggris mengabaikan pendudukan Arab–Palestina. Secara perlahan mereka pun kembali ke Palestina dan 14 Mei 1948 Israel mendeklarasikan kemerdekaan.
“Sebelum Inggris membolehkan tanah Palestina sebagai national home untuk orang Yahudi, sebenarnya juga telah menawarkan tanah lain seperti di Sinai, tapi itu kan gurun pasir, kemudian Argentina juga ada banyak penduduk Yahudi juga juga tidak mau. Karena tidak ada ikatan sama sekali. Alasan kenapa harus di tanah Palestina karena dalam keyakinan orang Yahudi itu tanah yang dijanjikan oleh Tuhan. Tanah Palestina hanya untuk orang Yahudi karena keyakinan seperti itu berarti ada unsur agamanya. Kepercayaan Yahudi meyakini tanah Palestina itu yang sebagai tanah yang dijanjikan Tuhan,” ucapnya.
Siti Mutiah menjelaskan kondisi saat ini sebenarnya sudah modern, tanah Palestina itu sudah ada penduduk yang berada disana lebih lama yaitu 1.800 tahun sejak Israel mendeklarasikan kemerdekaan. Padahal, menurut kesepakatan internasional negara bangsa negara Palestina itu juga mempunyai hak memiliki negara.
Menurutnya, sebenarnya siapa yang sudah lama disitu adalah penguasanya. Seperti hukum internasional untuk menyelesaikan pulau Sipadan – Ligitan karena Indonesia dianggap tidak pernah mengelola wilayah itu maka kehilangan hak.
“Sipadan-Ligitan itu saja baru berapa puluh tahun. Israel itu sudah melanggar kesepakatan hubungan internasional dan hukum internasional. Kalau kesepakatan itu dalam bentuk agreement internasional kan berarti melanggar hukum internasional. Israel melanggar kedua-duanya sehingga konflik tidak dapat diselesaikan terus menerus karena klaim mereka tidak mau mundur,” terangnya.
Siti Mutiah menandaskan untuk menciptakan ketentraman dan perdamaian antara Palestina – Israel dan di berbagai belahan negara lainnya sebenarnya cukup sederhana yaitu memastikan tidak ada pelanggaran terhadap 10 konvensi Hak Asasi Manusia. Menurutnya, tidak harus 10 cukup konsep-konsep berpolitik seperti hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, dan hak untuk beragama sesuai dengan keyakinannya.
“Itu kan hak dasar dari manusia, kalau tiga saja itu dilanggar tidak akan ketentraman, di negara manapun, tidak hanya di Israel. Tidak boleh rasis, tapi di negara modern mereka masih seperti itu. Mana bisa kemudian ada ketentraman,” paparnya.
Ia mengatakan generasi yang sekarang baik di Palestina maupun di Israel tidak mau menurunkan ajaran-ajaran perdamaian. Mestinya Israel untuk mendahului tidak melakukan diskriminasi, rasis, lebih menerapkan keadilan, persamaan dan keterbukaan.
“Kalau seperti itu yang diajarkan saya kira kedamaian itu ada. Selama tidak ada itu, ya akan secara terus menerus bergolak,” ucapnya.
Di masa modern ini, kata Siti, semua dituntut untuk menaati komitmen. Perdamaian itu sudah dilakukan sejak 1947, kemudian 1967 ada peran Arab-Israel dan PBB mengeluarkan resolusi untuk mendamaikan, tidak ditaati. Ada konfrensi Madrid untuk menyelesaikan karena PLO tidak disertakan maka tidak berhasil.
“Jadi, dari berbagai proses perundingan Arab-Israel untuk apa kalau karena syarat keberhasilan perundingan, yaitu ada jaminan keamanan bagi kedua belah pihak, ini setelah berunding tanah Palestina kembali diserang. Lantas apa kuncinya? Kedua belah pihak taat, ada perundingan, karena ini bukan salah PBB, tapi PBB kurang tegas terhadap yang melanggar dalam konflik Arab Palestina – Israel. Resolusi Dewan Keamanan 242 dan 338 dilanggar Israel diam saja, mestinya PBB datang menengahi menyuruh orang Yahudi pergi dari wilayah pendudukan. Sebagai mediator kan harus netral,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Kompas.com