Pusat Kajian Kebijakan Pembangunan Pertanian (PAKTA) UGM menyelenggarakan seminar daring dengan topik “Problematika Garam Nasional (Respons atas Kontroversi Kebijakan Impor Garam) pada Selasa, (22/6).
Seminar ini membahas isu penting terkait potensi dan permasalahan penyediaan garam nasional, kebijakan strategis, serta pengembangan sentra ekonomi garam nasional dengan narasumber Suadi, S.Psi., M.Agr.Sc., Ph.D. (Dosen dan Peneliti Sosial Ekonomi Perikanan UGM), Dr. Ihsannudin, S.P., M.P. (Peneliti Ekonomi dan Kebijakan Komoditas Garam Universitas Trunojoyo Madura), dan M. Zaki Mahasin, S.Pi., M.Si. (Kasubdit Pemanfaatan Air Laut dan Biofarmakologi Direktorat Jasa Kelautan).
Suadi memaparkan pada saat ini garam sudah berevolusi dari sekadar penyedap rasa menjadi komoditas strategis dan harus menjadi prioritas untuk ditangani dalam jangka pendek dan rencana aksi untuk jangka menengah dan panjang.
“Capaian produksi garam nasional paling tinggi adalah pada tahun 2015 yaitu 2,9 juta ton, sedangkan kebutuhan garam nasional lebih dari 4 juta ton, ini menyebabkan impor selalu menjadi pilihan. Kebijakan impor garam selalu mengundang perdebatan, bahkan di antara pengambil kebijakan,” ujarnya.
Ihsanunnudin menambahkan terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab Indonesia impor garam. Pertama, karena ketergantungan terhadap alam masih tinggi, iklim dan cuaca sangat berperan. Kedua, karena masih rendahnya teknologi dan SDM. Terakhir, karena kelembagaan pemasaran yang tak berpihak, struktur pasar cenderung oligopsonistik dan beroperasinya sistem kapitalistik.
Menurut Suadi, terkait dengan kebijakan impor garam, Siaran Pers KPPU pada 20 April 2021 (No.034/KPPU-PR/IV/2021 menetapkan impor garam sebesar 3,07 juta ton dengan menjabarkan tiga potensi masalah, salah satunya potensi garam industri dari impor yang tidak terpakai masuk ke pasar garam konsumsi, sebagai akibat dalam mengestimasi kebutuhan impor.
Sejalan dengan hal tersebut Zaki Mahasin menjelaskan bahwa produksi garam di Indonesia masih bervariasi dan tergantung cuaca/musim. Harga garam lokal pun belum diatur sehingga fluktuatif mengikuti pasar. Impor mayoritas berasal dari Australia, India, dan Tiongkok dengan harga impor $25-$35 per ton (CIF) dengan tambahan biaya 35% sudah sampai ke gudang importir atau kurang lebih 650/kg.
Untuk mengurangi ketergantungan pada impor garam, Suadi menjelaskan terdapat beberapa strategi pengembangan yang dapat dilakukan, yaitu dengan revitalisasi usaha pergaraman rakyat dan pengembangan kawasan ekonomi garam baru.
Revitalisasi usaha pergaraman perlu dikaji seperti melalui pengelolaan berbasis hamparan (skala usaha perlu dihitung) yang dipadukan dengan pengembangan usaha pasca produksi baik yang menyangkut pergudangan, pengelolaan garam, maupun distribusi dan logistik.
Sedangkan menurut Zaki, Kementrian Kelautan dan Perikanan juga melakukan Program Pengengembangan Usaha Garam Rakyat (PUGaR). Program ini merupakan Pemberdayaan Petambak Garam dengan segala upaya untuk meningkatkan kemampuan Petambak Garam untuk melaksanakan usaha pergaraman secara lebih baik.
“Bagaimana basis regulasinya, kita menerapkan aturan agar produk lokal bisa ditingkatkan, kita juga punya permendag 47/2016 pasal 2 dan pasal 6. Pasal 2 ini menerapkan kewajiban menggunakan produk dalam negeri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” terangnya.
Penulis: Desy Bariyyatul Qibtiyah