Pemberlakuan desentralisasi yang simetris (seragam) dengan adanya Undang-Undang Otonomi Daerah disebabkan pemerintah tidak memiliki desain desentralisasi asimetris untuk diterapkan di daerah. Kalaupun desain itu ada, lebih disebabkan oleh tuntutan dari daerah tertentu akibat munculnya berbagai permasalahan dan ancaman disintegrasi.
Riset yang dilakukan Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Isipol UGM, menemukan adanya praktik otonomi dan kekhususan di beberapa daerah, antara lain, di Aceh, Batam, DKI, DIY, Kalimantan Barat (Kalbar), dan Papua. “Penerapan desentralisasi asimetris itu sangat tergantung pada kekuatan leadership (kepemimpinan), bahkan capaian politik sangat ditentukan oleh kekuatan figur dan lobi politik,” ujar salah satu anggota tim riset, Dr. Abdul Gaffar Karim, Rabu (24/2), dalam Seminar Desentralisasi Asimetris untuk Indonesia di Gedung PAU lantai 3.
Gaffar mencontohkan munculnya kewenangan desentralisasi khusus di daerah pada awalnya dilakukan oleh tokoh, antara lain, Teuku Daud Beureuh dan Hasan Tiro di NAD, Ali Sadikin dan Sutiyoso di DKI, HB IX di DIY, serta Sultan Hamid II di Kalbar. “Orang-orang ini mengawal desentralisasi asimetris,” jelasnya.
Kendati demikian, penerapan desentralisasi asimetris masih terhambat oleh persoalan regulasi. Gaffar menyebutkan di Aceh, misalnya, baru ada 3 Peraturan Pemerintah (PP) dari 7 PP yang diharapkan untuk menindaklanjuti UU Otonomi Khusus. Sementara di Batam, belum ada satu pun PP yang dikeluarkan. Di samping itu, tambah Gaffar, UU yang dikeluarkan oleh DPR pun tidak konsisten satu sama lain.
Cornelis Lay, pakar politik UGM, mengatakan selama lima tahun terakhir dalam praktiknya ada tindakan pemerintah yang justru memperbesar jumlah pegawai di pusat untuk mengurusi masalah otonomi. “Semua pekerjaan daerah, tapi sumber daya ada di pusat. Ini tidak kompatibel,” katanya. Dalam kesempatan itu, Cornelis juga mendesak DPR untuk mengevaluasi kebutuhan perubahan paradigma otonomi. (Humas UGM/Gusti Grehenson)