Kagama Literasi dan UGM Press menyelenggarakan bedah buku karya Prof. Wihana Kirana Jaya, M.Soc.Sc., Ph.D. yang berjudul “Ekonomi Kelembagaan dan Desentralisasi pada Sabtu (26/6).
AAGN Ari Dwipayana, Koordinator Staf Khusus Presiden RI, menjelaskan bahwa ekonomi kelembagaan akan memberi wawasan kita tidak hanya dari sisi ekonomi, tapi juga dari sisi sosial politik hingga lingkungan hidup sehingga kita punya satu diskursus yang sinergis.
“Perspektif ekonomi kelembagaan akan bisa mempertemukan aspek produksi yang menjadi konsen selama ini. Ekonomi tidak akan bertumbuh dengan cepat kalau aspek institusinya, aspek sosial, politik lingkungan itu diabaikan. Dan sebaliknya, aspek sosial, politik, lingkungan tidak akan optimal kalau ekonomi tidak tumbuh,” ujarnya.
Menurutnya, jika dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi daerah, tidak ada konsensus yang bisa kita pegang mengenai korelasi antara desentralisasi dan pertumbuhan ekonomi daerah. Bahkan, studi di Indonesia sendiri, banyak kajian yang menyebut bahwa desentralisasi dan otonomi daerah kurang mendukung tumbuhnya iklim investasi dan dunia usaha.
Banyak pemerintah daerah di Indonesia meningkatkan pendapatan dengan menciptakan biaya tinggi sehingga menghambat daya tarik investasi dan memberatkan pelaku bisnis. Dari berbagai studi tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa organisasi pemerintah memegang peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi daerah, dengan dampak dan indikator yang berbeda-beda.
Ia menambahkan bahwa presiden Jokowi sangat menekankan pentingnya ekonomi kelembagaan yang merupakan bagian dari tranformasi ekonomi Indonesia.
“Menurut presiden, kita tidak hanya ingin tumbuh dengan cepat, tapi harus inklusif, yaitu merata dan berkeadilan, untuk itu memerlukan kehadiran negara dan warga,” tuturnya.
Buku karya Prof. Wihana Kirana Jaya menurutnya merupakan kritik terhadap pendekatan ekonomi Neoklasik yang didominasi oleh pendekatan Ekonomi Neoklasik yang terlalu rasional dan matematis.
Made Suwandi, M.Soc.Sc., Ph.D., Tenaga Ahli Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, memberikan kritiknya terhadap buku Prof. Wihana Kirana Jaya yang membahas hasil penelitian dari Fishman dan Gatti (2000). Penelitian tersebut menyatakan daerah yang menguasai lebih banyak anggaran dibandingkan pusat maka cenderung korup, pemerintah pusat cenderung tidak menyerahkan penggunaan anggaran terhadap pemerintah daerah.
“Melihat tataran empiric di Indonesia dalam kurun waktu 2005 sampai sekarang di bawah pilkada langsung, korupsi tidak berkurang, mereka malah menyogok rakyat mencari sponsor dari pengusaha dll, kewenangan dan keuangan yang diberikan banyak ke daerah 40% tetap banyak korupsi baik di tingkat Pusat maupun daerah. Tidak ada korelasinya” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa dari aspek kelembagaan desentralisasi salah satu kelemahan yang terjadi selama ini adalah pada aspek Binwas. Binwas Pusat terhadap Provinsi lemah dan Binwas GWPP terhadap Bupati/Walikota lebih lemah.
“Selain itu, social control juga lemah karena sebagian besar uang daerah datang dari pusat sehingga rakyat kurang merasakan bahwa pajak mereka yang dikorupsi. Berbeda dengan penyelewengan di tingkat RT atau desa yang mendorong kearifan lokal untuk mengawasinya,” terang Made.
Kurang optimalnya desentralisasi di Indonesia pada sisi lain disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, tidak adanya proses persiapan, memang ada percontohan otonomi daerah dimasa Orba namun lebih pada pemberian kewenangan sedikit demi sedikit. Sisi perubahan politik tidak pernah disentuh. Kedua, pasca reformasi dorongan perubahan politik sangat dominan seperti Pilkada Langsung. Pertanggung-jawaban KDH kepada DPRD di UU 22/1999, pemberian otonomi seluas-luasnya dengan mengabaikan kapasitas manajemen telah menimbulkan diametrik pusat dan daerah. Ketiga, rendahnya rata-rata tingkat pendidikan diawal reformasi yaitu 7,2 tahun menyebabkan euphoria politik sangat dominan.
Penulis: Desy Bariyyatul Qibtiyah