Malaria masih merupakan masalah besar yang ada pada negara beriklim tropis maupun sub-tropis termasuk Indonesia. Walaupun Annual Parasite Incidence (API) pada dekade terakhir di Indonesia mengalami penurunan, angka tersebut menunjukkan kondisi yang stagnan sejak tahun 2014. Dengan adanya pandemi Covid-19, dikhawatirkan angka ini mengalami peningkatan jika tidak ada pendekatan atau intervensi yang baru.
Gugus Tugas One Health FKKMK UGM membahas malaria dalam seminar via zoom pada Sabtu, (26/6). Seminar ini membahas tiga topik yaitu peran dan tantangan pengendalian vektor malaria dalam mendukung eliminasi malaria, potensi dan bahaya zoonosis malaria, serta pelibatan inovator kesehatan digital dalam eliminasi malaria.
Triwibowo Ambar Garjito, S.Si., M.Kes., Ph.D. / Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir Penyakit, Badan Litbang Kesehatan, Indonesia, memaparkan bahwa tren kasus malaria di Indonesia dalam periode 2010 – 2020 mengalami penurunan cukup baik, yaitu lebih dari 50%.
“Tahun 2009, daerah dengan endemis tinggi masih cukup banyak, namun pada tahun 2018 beberapa daerah di Sumatra, Jawa dan Bali sudah mendapatkan sertifikasi eliminasi. Hal ini tentunya berkat upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah,” ujarnya.
Triwibowo menjelaskan terdapat beberapa upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah yang menunjang penuruan jumlah kasus malaria secara signifikan dalam 1 dekade terakhir. Misalnya, di daerah dengan endemis tinggi, dilakukan pendistribusian dan penggunaan skala luas Long-Lasting Insecticide Treated Bednets (LLIN), aplikasi Indoor Residual Spraying (IRS) di daerah risiko tinggi dan KLB, serta pengendalian jentik dan manajemen lingkungan.
Sedangkan di daerah dengan endemis rendah, dilakukan peningkatan penelusuran kasus, pemetaan fokus penularan, dan surveilans aktif dan penemuan kasus, early diagnosis and prompt treatment (EDPT).
Selanjutnya Tribowo menjelaskan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan baru eliminasi malaria berbasis pulau di Indonesia. Jawa Bali akan menjadi target eliminasi pada 2023, Sumatra, Sulawesi, NTB pada 2025, Kalimantan, Maluku Utara pada 2027, Maluku, NTT pada 2028, serta Papua dan Papua Barat pada 2029. Pengendalian vektor dan surveilans entomologi malaria menjadi satu dari 10 dominan utama untuk mencapai eliminasi malaria.
Prioritas pengendalian vektor malarian dibagai menjadi dua. Pertama, di daerah penularan tinggi (Kawasan Papua, Papua Barat, NTT, PPU Kaltim, NTT) dan sedang (Maluku, Maluku Utara, dan Lampung). Kedua, pengendalian vektor malaria di daerah endemisitas rendah, namun stagnan lebih dari 5 tahun diantaranya Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Barat, Bangka Belitung, dsb.
Dari sisi kedokteran hewan, Dr. drh. Wisnu Nurcahyo dari FKH Universitas Gadjah Mada menyampaikan terdapat penyakit zoonosis, yaitu penyakit-penyakit yang menular pada manusia dan hewan, termasuk malaria.
“Hewan nular ke manusia, manusia nular ke hewan, dan sebagainya. Ada tiga aktor dalam hal ini yaitu hospes intermedier/ inang perantara misalnya siput, reservoir misalnya tikus, vektor, yaitu kaitannya dengan nyamuk. Dari 1415 patogen pada manusia, 868 (61%) adalah zoonosis,” ujarnya.
Menurut Wisnu, terdapat beberapa cara dalam mengatasi zoonosis malaria, yaitu perlu adanya kesamaan persepsi terkait potensi dan ancaman malaria zoonis, perlu adanya peningkatan kapasitas bagi para tenaga medis, upaya preventif melalui edukasi kepada masyarakat, serta kolaborasi dan sinergi multipihak sangat diperlukan dalam mengatasi bahaya zoonosis malaria.
Penulis: Desy Bariyyatul Qibtiyah