Peraturan perundang-undangan terkait pendidikan nasional dirasa perlu direvisi agar dapat menjawab tantangan pendidikan di era modern.
Hal ini diutarakan Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, dalam Seminar Daring Nasional Dewan Guru Besar UGM bertajuk “Kajian Kritis Undang-Undang Pendidikan Nasional” yang digelar Kamis (24/6).
“Revisi Undang-Undang makin relevan karena Undang-undang ini sudah 16 tahun. Tentu berbagai tantangan tidak dapat kita dapati jawabannya di Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,” ucapnya.
Dalam seminar ini, Syaiful memaparkan sejumlah catatan yang menjadi landasan bagi revisi undang-undang yang mencakup aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Pada aspek filosofis, ia menerangkan, substansi revisi UU Sisdiknas secara eksplisit dan implisit mengacu dan selaras dengan visi negara yang tertuang dalam pembukaan alinea keempat serta Pasal 31 dan Pasal 32 UUD NRI Tahun 1945 sehingga pembangunan pendidikan terarah dan berkelanjutan.
Substansi pendidikan karakter, menurutnya, harus menekankan filsafat Pancasila dan menjadikan nilai-nilai agama, tradisi budaya nusantara, aspek historis pendidikan nusantara, dan pemikiran-pemikiran tokoh pendidikan, tokoh agama, serta budayawan bangsa menjadi dasar pemikiran pendidikan karakter. Substansi dari aspek filosofis, lanjutnya, perlu menjadi komitmen bersama dalam revisi UU Sisdiknas.
“Indonesia ini negara besar yang punya legacy dan nilai luhur untuk membangun peradaban negara sendiri dan juga dunia, karena itu sekuat apa pun kebutuhan untuk merespons percepatan perubahan-perubahan sosial, itu tidak boleh sama sekali meninggalkan akar kebudayaan bangsa,” terangnya.
Pada aspek yuridis, ia menerangkan perlunya sinkronisasi dengan sejumlah undang-undang terkait, seperti UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi dan UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
“Permasalahan pada implementasi UU Sisdiknas dan UU pendidikan lainnya adalah peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan substansi yang menjadi cantolannya dalam UU Induk,” imbuhnya.
Sementara itu, pada aspek sosiologis, sistem pendidikan nasional harus menegaskan kembalil peran Tri Pusat Pendidikan yaitu orang tua atau keluarga, sekolah, dan masyarakat, sebagai komponen dalam peta jalan pendidikan.
Hal ini mengingat ketiganya merupakan komponen penting sebagai pusat pengembangan keilmuan, pembentukan karakter, dan kepribadian anak.
Selain itu, sistem pendidikan harus dapat diimplementasikan di daerah-daerah yang memiliki kekhasannya seperti perkotaan, pedesaan, pegunungan, sungai, dan kepulauan, serta memperhatikan belum meratanya infrastruktur dan teknologi informasi.
Dalam kesempatan yang sama, ketua Tim Pembahas RUU Pendidikan DGB UGM, Prof. Dra. Sri Hartati, M.Sc., Ph.D., mengutarakan bahwa sistem pendidikan harus membuat siswa mampu menyeimbangkan antara kebutuhan akademik, keterampilan untuk masuk dunia kerja, dan menyiapkan generasi yang mampu berpikir kritis, analitis, kreatif, dan inovatif.
Selain itu, sistem pendidikan nasional yang dibangun harus mampu menjamin pemerataan akses pendidikan pada seluruh warga negara, menjamin mutu dan kualitas pendidikan secara merata di seluruh wilayah Indonesia.
“Untuk itu perlu dikaji secara mendalam, untuk menyesuaikan kebutuhan dalam menghadapi tantangan,” ucapnya.
Penulis: Gloria