Pelayanan farmasi klinis terbukti efektif dalam menangani terapi pada pasien. Selain itu, pelayanan tersebut juga efektif untuk mengurangi biaya pelayanan kesehatan dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Hal itu terutama diperoleh dengan melakukan pemantauan resep dan pelaporan efek samping obat. Pelayanan ini terbukti dapat menurunkan angka kematian di rumah sakit secara signifikan.
Hal tersebut dikemukakan oleh Prof. Dra. Zullies Ikawati, Ph.D., Apt., saat dikukuhkan pada jabatan Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Kamis (25/2), di Balai Senat UGM. Dikatakan Zullies, dalam sebuah studi di Massachusetts General Hospital, Boston, dijumpai bahwa partisipasi farmasis dalam kunjungan ke bangsal perawatan ICU dapat mengurangi hingga 60% kejadian efek samping obat yang disebabkan oleh kesalahan dalam perintah pengobatan.
Sementara itu, di Indonesia masih banyak ditemui permasalahan terkait dengan penggunaan obat drug related problem (DRP) di berbagai tempat pelayanan kesehatan. Di sebuah rumah sakit di Kalimantan Timur, dijumpai 88,6% pasien diabetes mellitus mengalami DRP dengan masalah terbanyak adalah adanya indikasi penyakit yang tidak diterapi secara memadai. Di sebuah rumah sakit di Jawa Timur, dari 52 pasien hemodialisa, sebanyak 90,4%-nya mengalami DRP dengan persoalan terbanyak adalah pasien tidak menerima obat.
“Oleh sebab itu, pelayanan farmasi klinik sebenarnya bisa mengurangi DRP serta meningkatkan hasil terapi pasien. Intervensi farmasis dalam pemberian konseling pada pasien diabetes mellitus berhasil mengingkatkan terapi dan kualitas hidup pasien. Dengan konseling farmasis juga mampu meningkatkan target tekanan darah yang diinginkan,” jelas wanita kelahiran Purwokerto, 6 Desember 1968 ini.
Ditambahkan Zullies, dalam aktivitas pelayanan informasi obat dan konseling, farmasis harus menguasai pengetahuan teknis farmasetis agar dapat memberikan rekomendasi obat yang tepat. Konseling tentang pengobatan pada pasien juga perlu ditingkatkan untuk memastikan pasien dapat menggunakan obat dengan benar sehingga diperoleh hasil terapi yang optimal.
Praktik pelayanan farmasi klinis di Indonesia baru berkembang pada tahun 2000-an. Lambatnya perkembangan ini disebabkan konsep farmasi klinik belum diterima sepenuhnya oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Selama ini, apoteker yang bertugas menyiapkan obat di instalasi farmasi rumah sakit tidak memiliki akses untuk ikut memantau perkembangan pengobatan pasien. Farmasis selama ini dianggap kurang kompeten untuk dapat memainkan peran dalam pengobatan, padahal farmasis memahami farmakokinetik dan farmakodinamik.
“Jadi, semestinya farmasis bisa memegang peran yang signifikan dalam aplikasi farmakogenetik. Untuk itu, seyogianya di masa mendatang farmasis diberikan akses untuk memperoleh informasi genetik pasien agar dapat memberikan pelayanan kefarmasian secara individual sebelum mereka menyiapkan resep,” harap pengelola Magister Farmasi Klinik Fakultas Farmasi UGM ini. (Humas UGM/Ika)