Joglosemar merupakan ‘home of world class attraction’ atau kawasan yang memiliki daya tarik tingkat dunia. Daya tarik tersebut dapat dilihat misalnya dengan keberadaan Gunung Merapi sebagai satu dari tiga gunung berapi teraktif di dunia, dan menjadi salah satu titik dalam garis imajiner pada filosofi Jawa.
Demikian disampaikan Dr. Ikaputra pada acara webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Kamis (15/7). Webinar mengangkat tema Menggagas Konektivitas Kawasan Joglosemar: Memperkuat Interkoneksi Historikal-Kultural-Spasial.
“Keberadaan manusia purba di Sangiran juga menjadi daya tarik karena kawasan ini telah ditetapkan sebagai warisan dunia oleh Unesco sejak 1996. Demikian pula dengan Candi Borobudur dan Prambanan juga telah diakui sebagai warisan dunia oleh Unesco sejak 1991 dan batik pada tahun 2009,” katanya.
Joglosemar merupakan referensi kota benteng dunia versi kolonial dan Jawa. Pola-pola perkotaan di Jogja dan Solo ini mengakomodasi perkembangan dari zaman Hindu yang dikombinasi dengan ajaran Islam, misalnya dengan keberadaan masjid dan arah kiblat.
Elemen kota di Jawa terdiri dari 4 aspek, yaitu keraton, alun-alun, masjid dan pasar. Keraton dikelilingi oleh keberadaan dalem-dalem sebagai sistem pertahanan, misalnya di Yogyakarta dikenal Dalem Notoyudan (komandan perang), Jogonegaran (pengawal negara) dan Kumendaman (komandan).
Di era revolusi industri konektivitas Joglosemar dibangun dengan menghubungkan sumber daya historikal – kultural – ekonomi melalui jalur kereta api. Keberadaan perkebunan tembakau, kopi, indigo dan pabrik gula mendorong dibangunnya jalur tersebut.
“Jalur kereta api ini tertua yang ada di wilayah tersebut periode 1864-1869 sehingga Jawa menjadi salah satu titik penting dalam perkembangan kereta api di dunia. Sangat disayangkan apabila aset perkeretaapian yang kita miliki tersebut tidak kita rawat dan manfaatkan,” jelasnya.
Ia menjelaskan pula Yogyakarta juga memiliki kawasan Kotabaru sebagai garden city tingkat dunia. Keberadaan Kotabaru dipicu oleh kebutuhan hunian bagi administratur pabrik gula Belanda selama pembangunan pabrik gula di Yogyakarta pada periode 1877-1821. Kotabaru ini kemudian tumbuh menjadi Kawasan Layak Huni pada tahun 1925 dalam bentuk karya Tata Kota Taman atau Burgerlijke Openbare Werken (BOW) sebagai karya arsitektur Indisch.
“Keberadaan Kotabaru merupakan satu-satunya di Asia sebagai kota taman yang dapat disandingkan dengan kota taman lainnya di dunia,” jelasnya.
Selaku Peneliti Senior Pustral UGM dan pengajar pada Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM, Ikaputra menyatakan ke depan berbagai gagasan telah disusun untuk mendukung konektivitas kawasan Joglosemar, mulai dari konektivitas global yakni Aerotropolis NYIA dan konektivitas regional-lokal melalui gagasan Light Rail Transit (LRT) Kota Yogya yang didukung oleh konektivitas jalan raya dan jalan tol. Perencanaan tersebut dikemas secara komprehensif dalam ‘Green Transport and Green Regional Planning for Joglosemar’ yang telah digagas sejak 2012.
Dalam webinar yang dibuka oleh Caretaker Pusat Studi Transportasi dan Logistik, Prof. Bambang Agus Kironoto dengan moderator Deni Prasetio Nugroho, ST, MT, ini disebutkan bila perencanaan tersebut juga didukung pengembangan stasiun berbasis Transit Oriented Development (TOD) dengan berbasis beberapa prinsip utama, seperti terkoneksi multimoda, berkelanjutan, peningkaan akses antara kawasan urban dan sub urban, serta konsentrasi pengembangan kawasan pada jalur dan stasiun KA. Desain TOD telah digagas di stasiun Yogyakarta dan Solo.
“Rencana konektivitas di perkotaan ini didukung pula oleh pengembangan perkeretaapian untuk Greater Solo serta pengembangan Trem Otonom di Kota Yogyakarta,” ucapnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Indonesia.go.id