Menyusul larangan terbang Adam Air, beberapa penumpang pesawat udara merasakan dampaknya. Terlebih, mereka yang terbiasa menggunakan maskapai penerbangan itu.
Sebelum itu, beberapa perusahaan penerbangan mengalami hal serupa, seperti Bouraq, Sempati dan lain-lain. Meski begitu, kasus Adam Air sedikit berbeda.
Menurut Prof. Dr.-Ing. Ir. Ahmad Munawar, M.Sc, Adam Air dipandang telah menguasai 1/3 pangsa pasar di tanah air. Hal ini dinilai cukup tinggi dan memberi pengaruh pengguna pesawat terbang.
“Akan tetapi, keselamatan tetap menjadi pilihan utama untuk para penumpang,†ujarnya, Senin (24/3) di Kampus UGM.
Ahmad Munawar pun menegaskan, jika regulasi secara mendadak diperketat, tentu semakin banyak maskapai penerbangan terkena dampaknya. Regulasi memang perlu diperketat, namun denga cara perlahan-lahan, sehingga memungkinkan para maskapai penerbangan untuk melakukan pembenahan.
Selain itu, perlu dipikirkan moda (jenis) angkutan pengganti yang lain. Yaitu, moda transportasi yang mampu memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat.
“Untuk pulau Jawa, maka kereta api memiliki peluang sangat tinggi untuk mengisi kekosongan tersebut. Bahkan beberapa bulan lalu, UU perkeretaapian baru saja disahkan DPR. Ini memungkinkan investor swasta untuk masuk dalam bisnis perkeretaapian, yang relatif lebih kecil resikonya daripada transportasi udara,†tandas dosen Manajemen Lalulintas dan Manajemen Multi Moda, Magister Sistim dan Teknik Transportasi UGM ini.
Kata Munawar, menggunakan kereta api sesungguhnya memiliki banyak keuntungan. Letak stasiun yang umumnya dekat dengan pusat kota dinilai sebagai salah satu bentuk keuntungan tersebut.
Sementara itu, untuk transportasi udara masih dibutuhkan waktu lebih lama menuju ke bandara. “Dengan kemungkinan macet dijalan, terus chek in yang minimal harus satu jam sebelum keberangkatan pesawat, serta kemungkinan keterlambatan pesawat, maka sebenarnya kereta api lebih hemat waktu,†tambah pakar transportasi UGM ini.
Dibangunnya rel ganda di beberapa tempat menjadi bentuk keuntungan yang lain. Ia dinilai memperlancar waktu perjalanan kereta api.
“Hanya saja salah satu kelemahannya terdapat banyak perlintasan sebidang, yang tentunya sangat berbahaya bila tidak dilakukan penjagaan yang ketat, lebih-lebih jika frekuensi perjalanan kereta api sangat tinggi,†lanjut Munawar.
Dijelaskannya, di negara-negara maju kereta api menguasai sharing perjalanan (transport mode share) hingga jarak 1000 km. Di Indonesia, hal itu belum terjadi, dan diakui pula memang belum ada kereta api super cepat seperti Shinkansen (Jepang) atau TGV (Perancis).
“Namun dengan rel ganda di beberapa tempat memungkinkan untuk penambahan pengoperasian kereta api yang cukup nyaman seperti jenis-jenis ARGO. Karenanya, dengan peluang dukungan investor swasta, maka sesungguhnya pangsa pasar jarak yang relatif agak jauh seperti Yogya-Jakarta, Surabaya-Jakarta serta Semarang-Jakarta dapat dikuasai kereta api. Ini peluang yang perlu dimanfaatkan,†tandas Dosen Teknik Sipil FT UGM ini. (Humas UGM).