Prodi Magister Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM menyelenggarakan diskusi buku bertajuk “Dimensi Pengetahuan dan Kompetensi Literasi Digital” pada Jumat, (16/7). Diskusi ini merupakan seri kedua dari rangkaian diskusi buku “Perempuan dan Literasi Digital: Antara Problem, Hambatan, dan Arah Pemberdayaan”, yang merupakan buku hasil kolaborasi dari dosen, mahasiswa, dan alumnus Prodi Magister Dikom UGM. Acara diskusi ini diselenggarakan dengan dukungan dari Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan UGM Press.
Pada diskusi ini, hadir tiga narasumber selaku penulis buku dan juga dosen di Departemen Ilmu Komunikasi UGM. Mereka adalah Zainuddin Muda Z. Monggilo, Syaifa Tania, dan Dewa Ayu Diah Angendari. Di samping itu, hadir pula dosen Ilmu Komunikasi Universitas Sam Ratulangi Manado, Leviane Hera Jackelin Lotulung, sebagai pembahas.
Bagian kedua dari buku tersebut adalah tentang keresahan para penulis terkait dengan fenomena digital yang dihadapi oleh kalangan perempuan yang dijelaskan secara ringkas oleh Zainuddin Muda.
“Perempuan semakin ke sini semakin terlihat sebagai objek literasi digital. Saya percaya dan yakin bahwa lebih banyak perempuan di luar sana yang mungkin belum terekspose oleh media jika mereka telah melakukan kegiatan-kegiatan literasi digital yang konsisten,” ujar Zainuddin.
Tiga kasus yang disorot Zainuddin dalam babnya diantaranya adalah hoaks tentang Ratna Sarumpaet, peristiwa unjuk rasa dan kerusuhan di Papua 2019, serta hoaks-hoaks lainnya yang terkait dengan SARA dan politik.
Diskusi dilanjutkan oleh narasumber kedua, Syaifa Tania, yang menulis tentang peran perempuan dalam kaitannya dengan konteks komunikasi pemasaran digital. Menurut Tania, media sosial pada perkembangannya saat ini apa pun bentuknya selalu dicari celah sebagai media komunikasi pemasaran yang semakin hari bentuknya semakin halus bentuknya.
“Dalam perkembangannya, perempuan memiliki porsi yang besar sebagai influencers, tidak hanya sebagai konsumen, tetapi juga produsen komunikasi pemasaran komersial,” ujarnya.
Diskusi dilanjutkan oleh Diah Angendari yang menulis tentang adopsi teknologi informasi dan komunikasi oleh perempuan di daerah pedesaan yang merupakan bagian dari riset kerja sama antara Center for Digital Society (CfDS) UGM dan Amarta. Diah melakukan penelitian studi kasus terhadap perempuan pengguna peer-to-peer lending berbasis teknologi finansial.
Diah menyoroti keresahan yang muncul karena adanya digital divide di Indonesia, lebih spesifiknya, adanya kesenjangan dalam adopsi TIK antara lender dan borrower. Bagi lender sudah terliterasi untuk menggunakan dashboard dan menggunakan fiturnya, namun bagi borrower hanya sedikit yang sudah mampu menggunakan TIK-nya. Padahal, akses merupakan salah satu faktor penting atau pintu masuknya.
Digital divide yang besar di Indonesia, terutama yang terjadi dalam penggunaan TIK Amarta antara kreditur dan debitur, menjadi keresahan Diah. Kreditur pada kasus tersebut sudah terliterasi untuk mengoperasikan dasbor, sedangkan debitur yang mayoritas adalah ibu-ibu hanya sedikit yang mampu menggunakan TIK-nya.
“Padahal, akses merupakan salah satu faktor penting atau pintu masuknya,” ujar Diah.
Jackelin Lotulung sebagai pembahas menjelaskan bahwa perempuan di desa memang mengalami kesenjangan dalam pendidikan, pengetahuan, termasuk ketika dikaitkan dengan literasi digital.
“Karena kalau di kota, perempuan sudah maju, mungkin di desa kita bisa melakukan pemberdayaan yang lebih baik ketika literasi digital bisa menjadi keniscayaan. Di desa masih ada kendala, terutama terkait dengan jaringan. Itu menjadi PR untuk kita semua,” jelasnya.
Penulis: Desy