Budaya mengonsumsi produk pangan olahan kedelai di Indonesia dapat terlihat dari makanan berupa tahu, tempe, kecap, dan tauco yang tersedia di meja makan telah menjadi menu sehari-hari bagi sebagian masyarakat, baik di pedesaan maupun perkotaan. Selain rasanya yang enak, produk pangan ini mengandung gizi dan harga yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Namun demikian, sekitar 90% kebutuhan kedelai dipenuhi dari impor. Bahkan, kebutuhan impor kedelai dari tahun ketahun pun semakin meningkat. Padahal, Indonesia pernah mengalami swasembada kedelai pada tahun 1984, 1985, dan 1992 dimana kebutuhan lokal dapat dipenuhi dari lahan produksi dalam negeri. Saat ini, kebutuhan kedelai setiap tahun di kisaran 3.6 juta ton, produksi kedelai nasional pada tahun lalu di kisaran 340.000 ton, setara dengan kurang lebih 10% dari pemenuhan tingkat kebutuhan.
Pakar Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Dr. Atris Suyantohadi, STP, M.T., mengatakan produktifitas kedelai lokal sendiri terus mengalami penyusutan dikarenakan harga beli di pasaran yang murah dan di bawah nilai harga pokok produksi dari petani. Selain itu, kurangnya jaminan pasar harga kedelai dari hasil panen petani memicu munculnya keengganan petani melakukan budi daya kedelai. Bahkan, lahan kedelai pada tahun 1990 mencapai luas 1,3 juta hektare dan pada tahun 2005 merosot tajam menjadi 621 ribu hektare.
“Minimnya ketersediaan kebutuhan kedelai lokal memberikan peluang kepada negara luar untuk mengekspor kedelai ke Indonesia, ”kata Dr. Atris Suyantohadi, Kamis (5/8).
Menurut Atris kebutuhan kedelai baik untuk kebutuhan pangan dan penggunaan kedelai untuk menunjang industri dalam berbagai pengolahan produk pangan seperti tempe, tahu dan kecap memiliki nilai yang sangat tinggi di tanah air. Ia menyebutkan industri tahu dan tempe yang tergolong sebagai industri kecil dan rumah tangga di Indonesia mampu mempunyai nilai produksi mencapai Rp92,3 triliun dan nilai tambah sebesar Rp37,3 triliun.
Namun demikian, teknologi dalam penanganan pasca panen dan pengendalian hasil pasca panen di tingkat kelompok tani masih mengalami berbagai kendala teknis seperti tata cara penyimpanan yang baik dan penanganan ruang penyimpanan yang memenuhi standar kualitas hasil pasca panen. Tidak adanya sistem manajemen pengendalian pasca panen kedelai petani mulai dari teknologi penanganan pasca panen, penyimpanan di gudang, proses pengolahan kedelai, dan pemasaran kedelai dari petani hingga ke konsumen dan pelaku industri merupakan kendala besar dari daerah sentra produksi kedelai. “Banyaknya kendala di tingkat kelompok tani dalam penanganan pasca panen kedelai menjadikan tingkat kualitas kedelai sebagai bahan baku industri pengolahan kurang dapat terpenuhi,”paparnya.
Disamping itu, tata niaga pasca panen kedelai juga sangat ditentukan oleh mekanisme pasar dari hulu panen kedelai oleh petani, pedagang perantara pasar dari kecil hingga pedagang besar, dan pelaku industri baik industri kecil maupun industri skala menengah dan besar. Hal ini berdampak pada ketergantungan harga pada para spekulan pedagang pasar dan jaminan keberlangsungan kontinuitas produk pasca panen yang tidak bisa sepanjang tahun.
Ia mengusulkan adanya penguatan sistem agribisnis dan agroindustri kedelai yang berbasis teknologi sistem informasi dari tingkat hulu di petani dari mulai menanam kedelai, kebutuhan benih, kontrak petani, SOP budi daya, penanganan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), penanganan pasca panen, hingga hasil panen kedelai memenuhi standar kebutuhan bahan baku industri dan juga diolah sebagai produk pangan agroindustri.
Model pengembangan yang ia sebut Smart Enterprise Kedelai ini bisa memproteksi harga yang sesuai Harga Pokok Produksi d itingkat petani, melakukan penjadwalan dan mengatur pengiriman dan transportasi ke konsumen dan pelaku industri dan mengolah menjadi produk pangan dengan bahan baku kedelai. “Sistem ini mampu menghubungkan komponen pelaku dalam sistem tata niaga kedelai serta mampu membantu dan menjaga kontinuitas produk sepanjang tahun,” ujarnya.
Saat ini pengembangan Smart Enterprise Kedelai dijalankan di Kantor Gudang Sistem Resi Gudang (SRG) Kabupaten Bantul guna pengendalian stok dan sistem resi gudang saat panen kedelai melimpah dan juga dibangunnya Agroindustri Tempe berbahan baku kedelai lokal di Kebondalem Kidul, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah dari tahun 2015. Dari hulu hingga hilirisasi, kedelai lokal akan semakin diberdayakan petani dan dapat meningkatkan nilai ekonomi.
Penerapan kegiatan Smart Enterprise Kedelai melibatkan unsur kolaborasi dan sinergitas terdiri dari pemerintah, industri, kelompok petani, akademisi pendidikan tinggi dan media sebagai bentuk sistem Pentahelix. Dalam kurun waktu setahun di tahun 2020, keterlibatan kelompok petani kedelai di Smart Enterprise Kedelai telah mencapai 2.200 mitra petani dengan memanfaatkan lahan 294 hektare dan menyerap tenaga kerja 8.820 dan mendukung perekonomian pedesaan. Menurutnya, pengembangan kedepan Smart Enterprise Kedelai dapat digunakan sebagai model untuk komoditi kedelai yang bisa dikembangkan di berbagai daerah-daerah sentra kedelai di tanah air.
Penulis : Gusti Grehenson