Sebagai penyakit menular berbahaya di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) perlu mendapat perhatian di tengah pandemi Covid-19. Data nasional hingga 14 Juni 2021 mencapai 16.320 kasus. Jumlah ini meningkat sebanyak 6.417 kasus jika dibandingkan total kasus DBD pada 30 Mei yang hanya 9.903 kasus.
Jumlah kematian akibat DBD pun meningkat dari 98 kasus pada akhir Mei hingga menjadi 147 kasus pada 14 Juni 2021. Hingga kini jumlah kabupaten kota yang terjangkit terus bertambah menjadi 387 di 32 provinsi, sedangkan kasus DBD tertinggi berada pada kelompok umur 15 – 44 tahun.
Kenaikan kasus demam berdarah dengue ini patut menjadi perhatian serius. Hal ini mengingat Indonesia juga tengah dilanda pandemi Covid-19 sejak Maret 2020, yang sudah menginfeksi lebih dari 3,5 juta orang dengan jumlah yang meninggal dunia mencapai 102.375 orang.
dr. Riris Andono Ahmad, MPH., Ph.D, Direktur Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, berpendapat karena sektor kesehatan saat ini sedang fokus penanganan Covid-19 menjadikan layanan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) berkurang. Dengan kondisi seperti ini maka masyarakat diharapkan lebih siap untuk melakukan tindakan pencegahan.
Menurutnya, dulu ada program satu rumah satu juru pemantau jentik (jumantik) yang dilakukan secara rutin oleh puskesmas, kini karena tengah fokus penangan covid program tersebut tidak bisa rutin lagi. Hal ini mengakibatkan masyarakat tidak aware lagi untuk melakukan kebiasaan 3 M yaitu melakukan tindakan menguras, menutup dan mengubur terhadap kemungkinan-kemungkinan yang menjadi sarang nyamuk berkembang biak.
“Padahal itu menjadi kunci penting, mau tidak mau mestinya masyarakat tetap harus melakukan,” katanya di Kampus UGM, Kamis (5/8).
Menurut Riris, data DBD ini sebenarnya setiap waktu selalu ada. Data DBD akan semakin tinggi terjadi pada awal-awal musim hujan dan akhir musim hujan. Terutama di akhir musim hujan dimana volume hujan tidak terlalu deras tetapi seringkali menimbulkan banyak genangan air dimana-dimana.
“Secara umum nyamuk Aedes Aegypti senang tinggal di air yang relatif jernih, utamanya di bak-bak mandi di rumah. Karenanya sepanjang tahun nyamuk ini selalu ada sehingga penularannya juga sepanjang tahun, tetapi peningkatan paling tajam di awal dan akhir musim penghujan,” ucapnya.
Riris menandaskan perlu mewaspadai kemungkinan peningkatan DBD saat ini karena Indonesia saat ini mengalami musim kemarau basah. Kondisi dari bulan Maret-April hingga sekarang masih selalu ada hujan dan ini sangat memungkinkan memunculkan banyak genangan air.
Riris mengakui kondisi menjadi semakin sulit karena saat ini bersamaan dengan pandemi Covid-19. Karena baik DBD maupun covid sama-sama dicirikan dengan panas tinggi.
Oleh karena itu, katanya, yang terpenting harus tahu diagnosisnya terlebih dahulu sehingga bisa dilakukan cara pengobatannya yang tepat. Sebab, jika hanya melihat dari ciri demam saja, baik DBD maupun covid juga dicirikan demam tinggi.
“Jadi, sebaiknya jika panas entah covid atau DBD segera ke fasilitas kesehatan karena seperti di Jogja dan sekitarnya masih tinggi, utamanya perbatasan Jogja, Bantul dan Sleman cukup tinggi jadi perlu waspada juga untuk DBD,” terangnya.
Riris menambahkan khusus untuk Yogyakarta, mereka yang terindikasi DBD masih tetap terlayani. Dengan diagnosis rapid tes maka akan segera diketahui jika gejala berat maka akan dilanjutkan perawatan ke rumah sakit.
“Untuk DBD, secara umum masih terlayani. Untuk masyarakat yang penting lakukan 3M plus, yaitu menguras, menutup dan mengubur yang memungkinkan menjadi sarang nyamuk. Mengelola sampah dengan baik jangan sampai berserakan dan syukur pelihara ikan untuk membantu mengatasi jentik nyamuk,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Kabar24 – Bisnis.com