Indonesia merupakan negara produsen pisang terbesar ketiga di dunia. Produksi pisang nasional pada tahun 2019 mencapai 7,280,658 ton, namun volume ekspor pisang hanya 0.31% dari total produksi nasional. Rendahnya ekspor pisang Indonesia salah satunya disebabkan oleh prioritas kecukupan produksi nasional untuk kebutuhan domestik. Selain itu, proses produksi khususnya oleh petani-petani kecil masih belum menerapkan GAP (Good Agricultural Practise).
Dari sisi sumber daya genetik sebagai modal untuk peningkatan produktivitas pisang, Indonesia memiliki keragaman jenis pisang yang sangat tinggi, baik jenis pisang budi daya maupun jenis pisang liar. Kendati begitu terdapat ancaman hama penyakit yang memengaruhi produksi pisang nasional, salah satunya penyakit layu bakteri atau penyakit darah pisang (blood disease of banana/ BDB). Penyebaran jenis penyakit ini dapat menyebabkan kerugian gagal panen lebih dari 20%-50% bahkan akan menimbulkan kerusakan lebih besar lagi jika penyebarannya secara konsorsium.
Pakar Ilmu Penyakit Tumbuhan UGM, Prof. Ir. Siti Subandiyah M.Agr.Sc, Ph.D., mengungkapkan pengendalian BDB pada lahan-lahan budi daya dapat dilakukan dengan memotong jantung pisang secara segera setelah selesai pembuahan. Lalu, mengerodong buahnya agar terhindar dari kunjungan serangga. Sementara utuk eradikasi terhadap sisa-sisa tanaman sakit bisa dilakukan dengan memendam atau membakarnya.
“Penyakit darah pisang ini masih menjadi momok dalam industri pisang karena hingga kini belum ada cara pengendalian yang tepat dan cepat,” terangnya, Jumat (6/8).
BDB disebabkan oleh bakteri Ralstonia syzygii subsp. celebesensis (Rsc). Infeksi Rsc sering dijumpai pada jenis pisang Kepok atau jenis pisang yang sering digunakan sebagai bahan baku produk pisang olahan. Hal ini disebabkan penyebaran BDB oleh serangga pengunjung bunga jantung yang relatif lebih menyukai bunga jantung jenis-jenis pisang olahan.
Salah satu gejala BDB ditunjukan dengan keluarnya getah berwarna kemerahan seperti darah pada bonggol atau batang asli dari tanaman yang sakit. Selain itu, juga terjadi kerusakan pada daging buah pisang yang membusuk dan berwarna kecoklatan dan layu pada daun. Lalu, akan tampak pembusukan dengan garis-garis bersambung berwarna coklat kemerahan pada pohon yang sakit ditebang dan dibelah secara vertikal mulai dari jantung, tandanan buah dan tangkainya, berlanjut ke batang asli hingga ke bonggol.
Teknologi Omic
Kondisi tersebut mendorong Siti Subandiyah dan tim dari Fakultas Pertanian UGM berupaya mengembangkan suatu metode pengendalian penyakit darah tanaman pisang. Metode pengendalian dilakukan dengan Teknologi Omic. Teknologi ini memiliki fokus pada sifat-sifat biologis yang dikehendaki secara presisi dan telah banyak digunakan dalam berbagai bidang penelitian dan kajian termasuk genomic (berbasis DNA), transcriptomic (berbasis RNA), proteomic (berbasis protein), metabolomic (berbasis pada senyawa hasil metabolisme atau substansi lain yang mungkin lebih kompleks), dan bahkan sudah meluas ke ecotoxicogenomic (terkait dengan kerusakan lingkungan), agricultureconomic (terkait dengan nilai ekonomi), serta foodomic (terkait pangan atau sumber pangan).
Guru Besar Fakultas Pertanian UGM ini menyebutkan bahwa analisis menggunakan teknologi omic dapat menghasilkan solusi yang dikembangkan sebagai bioteknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan secara optimal guna mendukung ketahanan pangan. Teknologi omic dan bioteknologi berkontribusi dalam analisis genomik yang mendasari diagnosis penyakit atau identifikasi dan deteksi patogen secara molekuler.
Diagnosis atau penentuan identitas patogen penyebab penyakit, lanjutnya, merupakan proses yang sangat penting untuk menentukan teknik pengendalian. Sementara itu untuk BDB, identifikasi molekuler terhadap bakteri penyebab BDB yakni Ralstonia syzygii subsp. celebesensis (Rsc) sudah dilakukan dengan menggunakan sekuens nukleotida primer spesifik untuk PCR (polymerase chain reaction). Tak hanya itu timnya juga berhasil melakukan identifikasi yang lebih mendalam terhadap isolat Rsc dengan kode UGMSS-Db01 menggunakan teknik WGS (whole genome sequensing).
Ia menyebutkan epidemiologi molekuler BDB sangat berperan untuk menganalisis penyebaran penyakit. Kondisi produksi pisang Kepok dari Pulau Kalimantan sangat tinggi sebelum BDB menyebar ke hampir seluruh wilayah Indonesia. Setiap harinya puluhan ton pisang diangkut menggunakan truk bersambung dengan kapal feri untuk didistribusikan ke Pulau Jawa. Namun, hal itu sudah tidak lagi terjadi karena produksi pisang kepok sudah sangat berkurang akibat penyebaran BDB di Nusantara.
Teknologi omic juga berperan dalam pengembangan teknik pengendalian penyakit melalui penggunaan tanaman tahan atau imun hasil rekayasa genetik sehingga patogen tidak mampu menginfeksinya. Hanya saja cara ini membutuhkan pembiayaan yang cukup tinggi untuk pengembangan tanaman hasil rekayasa genetik sampai produksinya secara komersial di lapangan. Karenanya langkah ini hanya dilakukan pada tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dengan penyakit terkait. Tanaman transgenik yang sudah dapat dikembangkan juga masih harus mendapatkan perizinan aman pangan, aman pakan, dan aman lingkungan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2005 sebelum ditanam secara komersial.
“Melalui kajian omic dapat ditemukan solusi yang presisi dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penggunaan teknik ini akan mendasari ketepatan pemilihan gen target untuk perakitan tanaman secara transgenik maupun melalui pengeditan dalam mengembangkan tanaman pisang tahan BDB, ataupun pengembangan biofungisida molekuler yang ramah lingkungan berbasis micro Ribo Nucleic Acid,” paparnya.
Penulis: Ika