Ilmu alam dan ilmu sosial memiliki peran yang berbeda dalam masyarakat. Prof. Wening Udasmoro, Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, melihat tugas ilmu sosial dan humaniora dalam sepanjang sejarahnya adalah untuk mengritisi hegemoni teknologi. Hal ini disampaikan Prof. Wening dalam webinar kuliah perdana tahun ajaran 2021/2022 berjudul ‘ Dari Humaniora ke Rekayasa Sosial: Tinjauan Kritis atas Krisis Ilmu-Ilmu Kemanusiaan di Abad Digital’ pada Senin, (16/8).
Prof. Wening menjelaskan teknologi tersebut di satu sisi merupakan hal yang sangat positif, dimana dalam hal ini membantu manusia itu sendiri. Akan tetapi disisi lain, teknologi tersebut sebetulnya juga merupakan kontributor dari permasalahan manusia juga.
Peranan ilmu sosial dan humaniora telah dimulai semenjak abad ke-19. Pada saat itu ilmu sosial dan humaniora telah beraksi dalam revolusi industri dan kapitalisme. Teknologi yang kita kenal berkembang pada saat itu, teknologi 1.0 (mekanisasi serta mesin uap), disatu sisi memang memudahkan. Namun, disisi lain, ternyata juga menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial karena pendirian pabrik-pabrik: ada banyak sekali kemiskinan, depresi bagi tenaga kerja, dan tinggi-nya angka bunuh diri.
“Jadi, kemudian ada persoalan well-being, persoalan kesejahteraan, persoalan happiness atau kebahagiaan yang kemudian diperjuangkan oleh ahli-ahli ilmu sosial dan humaniora pada waktu itu,” jelas Wening.
Kemudian, kritik kepada hegemoni teknologi berlanjut ke abad 20. Pada abad ke-20 tersebut ilmu sosial dan humaniora bereaksi untuk melawan fenomena perang pada waktu itu dan hadirnya teknologi perang tingkat tinggi. Banyak ahli ilmu sosial dan humaniora yang mempertanyakan tentang mau dibawa kemana “keberadaan manusia” dengan adanya perang-perang tersebut.
“Kehebatan manusia dalam menciptakan teknologi perang dikritisi telah menghancurkan manusia itu sendiri,” tutur Wening.
Pada abad ke-21 peradaban manusia memasuki era digital. Wening mengatakan bahwa di era digital sekarang ini perlu disadari bahwa masyarakat bukan suatu hal yang homogen. Ada kelompok-kelompok yang tidak melek teknologi. Wening menjelaskan membela kelompok marginal tersebut merupakan kontribusi besar dari ilmu sosial dan humaniora.
“Dia (mereka yang tidak melek teknologi) butuh pula diberi ruang dalam kebijakan ekonomi agar mentas dari kemiskinan, mesti tidak punya smart phone,” pungkas Wening.
Penulis: Aji