Tari Lengger Lanang Banyumas merupakan salah satu bentuk kebudayaan lintas gender (cross-gender) di Indonesia. Tarian ini dikategorikan sebagai cross-gender karena pelakunya yaitu laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan. Tarian ini secara etimologi tersusun dari dua kata yaitu leng dan jengger yang memiliki arti disangka perempuan ternyata seorang laki-laki.
Tari Lengger adalah kesenian rakyat yang hadir dan berkembang sejak lama dalam masyarakat agraris Banyumas. Dahulunya, Tari Lengger Lanang dianggap memiliki unsur magis-religius yang pada mulanya dipentaskan sebagai bentuk syukur masyarakat dalam sebuah upacara setelah panen raya. Meski begitu, Tarian Lengger saat ini seringkali distigma buruk oleh masyarakat dan dianggap menyebarkan nilai-nilai LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) di Indonesia.
Persepsi buruk terhadap Tari Lengger Lanang pun bermunculan. Riset tirto.id terhadap 1.005 responden masyarakat Indonesia pada tahun 2019 yang menunjukkan data 11,54 persen berpendapat bahwa Tari Lengger Lanang harus dihapus. Sementara sebanyak 57,21 persen berpendapat perlu dilestarikan dengan penyesuaian, 12,84 tidak peduli dan hanya 17,11 persen berpendapat harus dilestarikan, serta jawaban lainnya sebanyak 1,29 persen.
Tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) UGM Riset Sosial Humaniora (RSH) yang beranggotakan Moch Zihad Islami (Filsafat 2018), Bety Oktaviani (Antropologi 2017), Doni Andika Pradana, Danu Saifulloh Rahmadani (Filsafat 2020) dan Wahida Okta Khoirunnisa (Filsafat 2020) merasa penasaran terhadap fenomena Tari Lengger ini. Mereka melakukan penelitian selama 3 bulan dengan judul “Eksplorasi Nilai-Nilai Filosofis Tari Lengger Lanang Banyumas dalam Upaya Pemertahanan Kebudayaan Cross-gender di Indonesia.”
“Pandangan buruk mengenai Tari Lengger Lanang sebagai kebudayaan cross-gender ini senyatanya mengakibatkan bias gender dalam kesenian. Padahal, kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan senantiasa hadir dalam bentuk simbol-simbol yang secara estetis mengungkapkan nilai-nilai filosofis yang ada pada masyarakat tertentu. Atas dasar itu kami ingin menggali nilai-nilai filosofis yang ada pada Tari Lengger Lanang,” ujar Moch Zihad Islami, di Kampus UGM, Rabu (18/8).
Ia menjelaskan rasa penasaran terhadap Tari Lengger ini dijawab dengan melakukan penelitian dengan menggunakan perspektif interdisipliner Ilmu Filsafat dan Antropologi. Dari perspektif Ilmu Filsafat, penelitian berupaya menggali nilai-nilai sedangkan dari sudut pandang Antropologi maka penelitian berusaha mengungkap dinamika yang dialami oleh pelaku dan institusi Tari Lengger Lanang Banyumas dalam mempertahankan eksistensinya di tengah perubahan masyarakat Indonesia.
“Para penari Lengger terkadang didiskriminasi oleh sebagian masyarakat karena dianggap menyalahi kodrat yaitu laki-laki berdandan seperti perempuan,” paparnya.
Bety Oktaviani mengatakan dari beberapa hasil wawancara yang dilakukan mereka menemukan bahwa ada keluarga para penari Lengger yang sesungguhnya tidak mendukung sehingga tidak mengherankan bila Tari Lengger Lanang saat ini sangat sedikit yang melakukan.
“Berdasarkan hasil wawancara dengan perwakilan Dinas Kebudayaan Kabupaten Banyumas, jumlah seniman Lengger Lanang saat ini hanya tersisa sekitar 12 penari,” ucap Bety.
Ia mengungkapkan bahwa dalam upaya mempertahankan eksistensinya di tengah modernisasi masyarakat, Tari Lengger Lanang telah melakukan beberapa adaptasi pelaksanaan teknis kesenian. Misalnya dengan penambahan alat musik organ tunggal sebagai bentuk penyesuaian minat masyarakat modern.
Disamping itu, sebagian besar institusi maupun pelaku Tari Lengger Lanang Banyumas saat ini juga telah menggunakan atau memanfaatkan digitalisasi untuk memublikasikan kegiatan tari mereka.
Doni Andika Pradana menambahkan tim peneliti mahasiswa UGM juga berupaya menelisik nilai-nilai filosofis Tari Lengger Lanang pada konsep cross-gender, kostum penari, lagu-lagu pengiring, dan juga gerakan. Menurutnya, secara garis besar konsep nilai filosofis yang ada pada Tari Lengger yaitu nilai kesetaraan dan keseimbangan, nilai keterbukaan dan fleksibilitas, nilai ketuhanan, serta nilai kebersamaan (sosial).
Danu Saifulloh Rahmadani menambahkan Tim PKM-RSH yang didampingi oleh Dosen Fakultas Filsafat, Rachmat Hidayat, M.A. Ph.D, ini juga berupaya merelevansikan nilai-nilai tersebut dalam konteks ketidaksetaraan gender di Indonesia. Data Global Gender Gap Index 2020 yang dirilis World Economic Forum bahwa pada tahun 2020 Indonesia masih ada pada peringkat 85 dari 153 negara dengan skor 0,70 terkait kesetaraan gender, jauh dari negara Asia Tenggara lainnya, seperti Filipina di urutan 16, Laos di urutan 43, Singapura di urutan 54, dan Thailand di urutan 75.
Oleh karenanya, tim berusaha merelevansikan nilai-nilai Tari Lengger Lanang atas isu ketidaksetaraan gender di Indonesia karena isu ini sangat penting bagi pembangunan Indonesia. Misalnya nilai keseimbangan dapat direlevansikan pada bagaimana seharusnya manusia memahami keseimbangan tubuh baik laki-laki maupun perempuan yang terdiri atas maskulinitas dan femininitas. Atas dasar ini, manusia pada dasarnya tidak boleh secara kaku didasarkan oleh sekat-sekat gender yang justru terkadang merugikan salah satu pihak dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
“Dasar nilai-nilai filosofis pun telah kami temukan dalam Tari Lengger Lanang Banyumas, harapannya masyarakat Indonesia secara umum mampu mangapresiasi dan tentunya menginternalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, terutama dalam konteks ketidaksetaraan gender di Indonesia. Selain dari masyarakat, kami juga berharap kepada pemerintah untuk selalu mendukung dan membuat kebijakan strategis dalam upaya mempertahankan Tari Lengger Lanang ini,” papar Danu.
Penulis : Agung Nugroho