Belakangan ini, pembangunan hotel, apartemen, maupun fasilitas komersial semakin marak di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Sleman. Status Yogyakarta sebagai kota wisata sekaligus kota pelajar menjadi daya tarik yang kuat bagi pendatang untuk bertempat tinggal di Yogyakarta, baik dalam rangka berwisata, menempuh studi, maupun mencari tempat tinggal baru. Begitu tingginya permintaan pasar tersebut mendorong adanya pembangunan secara masif di Kabupaten Sleman, sebagai daerah penyangga atau peri-urban yang masih berdekatan dengan pusat kota. Data BPS 2020 menyebutkan bahwa terjadi kenaikan pembangunan hotel secara signifkan di Kabupaten Sleman, dimana pada tahun 2015 hanya terdapat 26 hotel berbintang dan 363 hotel non-bintang, naik secara drastis menjadi 65 hotel berbintang dan 715 hotel non bintang.
Pembangunan yang masif di Kabupaten Sleman ini menyebabkan terjadinya fenomena gentrifikasi, yaitu perubahan alih fungsi lahan. Gentrifikasi merupakan komodifikasi makna dari ruang perkotaan yang cenderung menyediakan kebutuhan kelas menengah atau pasar, proses ini menyingkirkan kelompok kelas bawah dan cenderung hanya memenangkan kelompok kelas menengah. Gentrifikasi sering kali dianggap positif karena menguntungkan pihak pemerintah kota berupa pembaharuan kualitas fisik perkotaan dengan menyingkirkan kawasan kumuh milik masyarakat kelas bawah. Namun, dari sisi aspek sosial dan budaya masyarakat rentan di dalamnya seringkali tidak diperhatikan, terutama fenomena displacement atau keterusiran yang menyertai gentrifikasi tersebut.
Permasalahan ini memberikan ide bagi Zahra Auliani Fauziatunnisa dan Akhmad Khanif (Fakultas Ilmu Budaya) serta Benyamin (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) untuk mengungkap fenomena gentrifikasi dari sudut pandang korban displacement di Kabupaten Sleman, khususnya di Padukuhan Karangwuni, Kecamatan Depok. Mereka dibimbing oleh Aprilia Firmonasari, S. S., M.Hum., DEA untuk mengangkat penelitian tersebut melalui program PKM-RSH Kemristekdikti.
Dalam penelitiannya, mereka melibatkan setidaknya 6 narasumber, yang diantaranya adalah Ketua RT 1 Karangwuni, Mbah Tin selaku masyarakat sepuh asli Karangwuni, Ibu Teti warga Karangwuni yang sudah meninggalkan Karangwuni, Pak Wisnu selaku ketua Paguyuban Warga Karangwuni Tolak Apartemen Uttara (PKWTU), LBH DIY serta Dinas Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Sleman. Tim peneliti juga melibatkan pakar gentrifikasi yaitu Hardian Wahyu Widianto dan Prof. Dr. Yeremias Torontuan Keban, MURP.
Hasilnya, Zahra dan tim menemukan bahwa fenomena keterusiran tidak hanya terjadi sebatas fisik saja, dimana warga terpaksa pindah karena tanahnya digunakan untuk pembangunan, namun juga sekaligus keterusiran secara sosial, yaitu hilangnya keterikatan masyarakat dengan daerahnya akibat perubahan sosial budaya pasca pembangunan.
Selain itu, pembangunan apartemen di daerah ini juga turut menyumbangkan dampak yang cukup besar bagi masyarakat. Krisis air, polusi suara, dan bahkan konflik sosial perpecahan antara masyarakat Karangwuni pun juga sempat terjadi pada saat pembangunan apartemen. “Di sisi lain, pembangunan kos eksklusif untuk mahasiswa secara masif di daerah Karangwuni juga menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya, diantaranya yaitu lunturnya kebersamaan antar warga, berkurangnya secara drastis acara maupun pagelaran tradisional sebagai ajang silaturahmi antar warga,” kata Zahra, Kamis (19/8).
Selain itu, kenaikan harga tanah yang begitu tinggi, diimbangi dengan prospek bisnis kos mahasiswa yang cenderung menguntungkan juga mendorong warga untuk menjual rumahnya di Karangwuni untuk kemudian dijadikan usaha kos mahasiswa. “Hal ini menyebabkan berkurangnya secara drastis warga asli Karangwuni yang masih bertahan dan bertempat tinggal disana,” Zahra.
Zahra mengungkapkan, kurangnya perhatian pada aspek manusia dan kehidupan sosial masyarakat di dalam kebijakan pembangunan, membuat kajian kritis tentang gentrifikasi perlu dilakukan. Dukungan pemerintah dan media komersial pada proses gentrifikasi membuat konflik sosial ini sering diabaikan dan hanya dianggap sebagai permasalahan sementara. Padahal, perlu untuk mengkaji masyarakat yang menjadi korban keterusiran akibat dari proses ini karena kerugian jangka panjang secara aterial dan sosial yang mereka alami. Gentrifikasi akan terus terjadi dan permasalahan sosial yang mengikuti juga berpotensi untuk terus terulang seiring dengan ekspansi perkotaan yang semakin masif di masa mendatang.
Dengan demikian, tidak hanya kota besar yang perlu mempersiapkan strategi solutif terhadap permasalahan sosial akibat gentrifikasi, tetapi juga kawasan peri-urban perlu mempersiapkan perencanaan pembangunan yang tetap memperhatikan kehidupan sosial di dalamnya.
Gentrifikasi akan terus terjadi dan permasalahan sosial yang mengikuti juga berpotensi untuk terus terulang seiring dengan ekspansi perkotaan yang semakin masif di masa mendatang. Dengan demikian, tidak hanya kota besar yang perlu mempersiapkan strategi solutif terhadap permasalahan sosial akibat gentrifikasi, tetapi juga kawasan peri-urban perlu mempersiapkan perencanaan pembangunan yang tetap memperhatikan kehidupan sosial di dalamnya.
Benyamin, salah satu anggota tim riset lainnya, menambahkan pemerintah perlu membuat kebijakan perencanaan tata ruang dan wilayah yang lebih terpadu dengan mengambil perspektif dari masyarakat sehingga fenomena keterusiran yang dialami oleh masyarakat, kedepannya dapat lebih di mitigasi dan dicegah.
Penulis : Gusti Grehenson