Pertemuan antar masyarakat dari kebudayaan yang berbeda dapat menciptakan fenomena akulturasi (pencampuran dua kebudayaan atau lebih). Hal ini seperti yang terjadi dalam masyarakat di Kaledonia Baru. Peneliti sekaligus dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Subiyantoro, mengungkapkan bahwa telah terjadi hibriditas (pencampuran) kepada Bahasa Jawa yang dibawa oleh masyarakat Jawa yang dahulunya bermigrasi kesana. Bahasa Jawa yang digunakan disana sekarang ini kemudian disebut sebagai Bahasa Jawa Kaledonia Baru (BJKB), yakni bahasa Jawa yang telah berhibridasi dengan bahasa Perancis.
“BJKB (terus) mengalami transformasi dan dewasa ini masih dipakai untuk komunikasi meski dalam lingkup terbatas. BJKB memiliki ciri khas yang membedakannya dengan bahasa Jawa standar: Hibridisasi bahasa Jawa-Prancis,” ungkap Subiyantoro dalam webinar berjudul ‘Bahasa Jawa Kaledonia Baru: Kajian Hibriditas Bahasa’ yang diselenggarakan FIB UGM pada Rabu, (18/8).
Kaledonia Baru tepatnya terletak di arah timur laut Australia dan utara Selandia Baru. Kaledonia Baru termasuk wilayah teritori Perancis dengan status khusus: sui generis. Luas wilayahnya 18.676 km2. Wilayah Kaledonia Baru berbentuk kepulauan dengan pulau terbesar bernama Grande Terre.
Diketahui, orang Jawa datang ke Kaledonia Baru sejak tahun 1896, kloter pertama sebanyak 170 orang. 170 orang tersebut dibawa sebagai kuli kontrak dari wilayah nusantara yang masih dikuasai pemerintahan Hindia Belanda pada waktu itu. Sekarang, orang Jawa yang hidup di Kaledonia Baru ada sekitar 3.786 jiwa atau 1,39% dari jumlah penduduk keseluruhan (hasil sensus 2019, sumber: Kemlu RI). Subiyantoro mengatakan bahwa orang Jawa yang tinggal disana sekarang merupakan generasi kedelapan dan kesembilan.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Subiyantoro mengungkapkan bahwa bahasa lisan orang Jawa disana telah berubah seperti ucapan kata berikut: ketika mengatakan kalimat “ini adalah ikan yang dilindungi”, dimana dalam bahasa Jawa-nya adalah “iki iwak sing dilindungi”, dalam BJKB kalimat tersebut berubah dan berbunyi menjadi “iki posong sing diproteze”.
Selain itu, juga ada perubahan pada penyebutan seperti penyebutan frasa nama benda seperti lemper menjadi lumper dan lain-lain. Lalu, ditemukan juga hibridasi dalam penggunaan kata “slametan”. Untuk tradisi “slametan” tersebut, kata “slametan” masih digunakan untuk acara duka, namun untuk acara bahagia, orang Jawa disana tidak menggunakan kata “slametan” lagi, tetapi menggunakan kata ”lafetan”.
Untuk menyimak hasil penelitian dari Subiyantoro lebih lanjut, anda dapat mengunjungi tautan disini.
Penulis: Aji