Tim mahasiswa UGM melakukan penelitian terkait budaya mencuci tangan masyarakat Minangkabau dengan Cibuak Meriau. Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa yang menerima pendanaan penuh dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
“Latar belakang pengambilan tema ini adalah karena kasus COVID-19 di Indonesia yang tergolong tinggi sementara kesadaran masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan masih rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai pendekatan untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan, salah satunya adalah pendekatan budaya,” terang Nia Faridatul Khasanah, mahasiswa Fakultas Hukum UGM.
Selain Nia, tim ini beranggotakan tiga mahasiswa lainnya, yaitu Teguh Ihza Yuhirsah dan Whafiq Azizah Fadilla dari Fakultas Hukum serta Muhammad Farid Wajdi yang berasal dari Fakultas Filsafat.
Penelitian ini difokuskan di dua lokasi di Provinsi Sumatera Barat, yaitu Kampung Adat Padang Ranah, Nagari Sijunjung, Kabupaten Sujunjung, dan Kawasan Seribu Rumah Gadang, Nagari Koto Baru, Kabupaten Solok Selatan.
Ia menerangkan, melihat potret kebudayaan Minangkabau di masa lampau, terlihat berbagai budaya yang memiliki filosofi mendalam, misalnya berbagai jenis rangkiang di depan rumah gadang yang salah satunya berfungsi untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. Selain itu, ada pula kegiatan baraja di surau, di mana surau menjadi episentrum penggalian ilmu, baik ilmu agama, adat, bahkan ilmu kehidupan.
Salah satu budaya yang diamati tim ini adalah budaya mencuci kaki dan tangan yang dilakukan sebelum menaiki Rumah Gadang. Kegiatan ini digunakan dengan piranti yang disebut dengan Cibuak Meriau.
“Ada juga masyarakat yang menyebutnya Cibuak, Ciduak, Taring Bapanto, dan sebagainya. Kondisi ini sesuai dengan istilah lain lubuak lain ikannyo, lain rumpuik lain bilalangnyo,” terangnya.
Selain nama, bentuknya pun juga berbeda-beda. Ada yang berbentuk belanga yang terbuat dari tanah liat dan ada pula yang berbentuk lesung dari batu.
Kegiatan mencuci kaki dan tangan dengan Cibuak Meriau, lanjutnya, tidak hanya berfungsi untuk membersihkan diri sebelum menaiki Rumah Gadang. Di balik itu tersirat nilai-nilai, seperti nilai kebaikan, nilai penghormatan, nilai agama, dan nilai kebersihan.
“Terlebih masyarakat Minangkabau dalam kehidupannya berdasar pada falsafah Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Dengan dasar itu tentunya masyarakat Minangkabau mengutamakan kebersihan karena kebersihan adalah sebagian dari iman,” kata Nia.
Seperti provinsi lainnya, Sumatera Barat tengah berjuang melawan penyebaran COVID-19 dengan berbagai kebijakan yang telah diterapkan. Namun, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, terutama masyarakat Minangkabau, menurutnya perlu dilakukan pelestarian dan pengenalan kembali budaya mencuci tangan dengan Cibuak Meriau.
“Selain bertujuan untuk meningkatkan partisipasi dan kesadaran masyarakat untuk mentaati protokol Kesehatan, kebijakan ini juga dapat membuat nilai-nilai budaya mencuci tangan dengan Cibuak Meriau terus dimiliki dan diketahui oleh generasi berikutnya,” ucapnya.
Penulis: Gloria