Sarung tangan lateks merupakan salah satu alat pelindung diri (APD) yang biasa digunakan saat bekerja di laboratorium. Namun, semenjak pandemi Covid-19, sarung tangan lateks tidak hanya digunakan oleh orang yang bekerja di laboratorium, melainkan juga digunakan para tenaga medis beserta masyarakat umum. Penggunaan sarung tangan lateks ini bertujuan untuk melindungi tangan dari kontaminasi virus yang berbahaya tersebut. Namun demikian, tanpa kita sadari, keberadaan limbah sarung tangan lateks di saat pandemi ini mendatangkan dampak yang sangat besar bagi seluruh aspek kehidupan, salah satunya aspek lingkungan. Meski sarung tangan lateks yang sangat dibutuhkan selama pandemi justru menjadi masalah baru bagi lingkungan.
Melihat permasalahan lingkungan tersebut, Tim Program Kreativitas Mahasiswa- Riset Eksakta (PKM-RE) FMIPA UGM yang beranggotakan empat mahasiswa yakni, Mandrea Nora (Ketua/2019), Aditya Yuan Pramudyansyah (2018), Rangga Indra Riwansyah (2019), dan Nanda Tasqia Amaranti (2019) serta didampingi Dosen Kimia FMIPA UGM Mokhammad Fajar Pradipta, S.Si, M.Eng., berhasil mengolah limbah sarung tangan lateks menjadi bahan bakar diesel.
Awal mula terbentuknya inovasi ini menurut Mandrea Nora berawal saat beberapa anggota tim diskusi mengenai permasalahan limbah medis akibat pandemi Covid-19 ini. Setelah diskusi dan membaca beberapa literatur akhirnya terbersit ide tersebut untuk diajukan sebagai proposal PKM RE. “Kami menemukan bahwa sarung tangan lateks memiliki komposisi kimia utama yaitu polimer Poliisoprena. Di mana poliisoprena ini apabila dipirolisi nantinya akan menghasilkan senyawa hidrokarbon berupa Limonena. Limonena merupakan senyawa hidrokarbon dengan fraksi C10 yang memiliki potensi tinggi untuk diterapkan sebagai bahan bakar diesel,” paparnya dalam rilis yang dikirim Senin (23/8).
Proses pengolahan limbah sarung tangan lateks menjadi bahan bakar ini dilakukan dengan metode pirolisis. Pirolisis sarung tangan lateks dilakukan pada suhu 350 derajat celcius selama 3 jam sehingga nantinya didapatkan minyak hasil pirolisis. “Selanjutnya minyak hasil pirolisis dilakukan pemurnian melalui proses Hydrocracking sehingga didapatkan bahan bakar diesel,” ungkapnya.
Untuk memastikan apakah bahan bakar yang dihasilkan tergolong ke dalam fraksi bahan bakar diesel, mereka melakukan identifikasi senyawa dengan metode Kromatografi Gas – Spektroskopi Gas serta melakukan uji fisikokimia terhadap bahan bakar yang dihasilkan. “Hasil pengujian kemudian dibandingkan dengan hasil uji pada bahan bakar diesel yang ada di pasaran,” urainya.
Penulis : Gusti Grehenson