Yogya, KU
PUSAT Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM merekomendasikan empat hal pokok yang perlu dilakukan dalam upaya penyelesaian penyimpangan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjadi skandal korupsi terbesar di Indonesia.
Pertama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus segera mengambil alih kasus BLBI. Kedua, kejaksaan harus bersih dari praktek mafia peradilan lalu ketiga DPR bisa menggunakan hak angket untuk mengungkap korupsi BLBI yang terjadi dan keempat, pemerintah SBY-JK perlu serius untuk menyelesaikan kasus dengan membatalkan Intruksi Presiden Nomor 8/2002 tentang release dan discharge.
“Saya apresiasi KPK. Kini sudah berani menyentuh institusi peradilan. Terkait BLBI itu mengindikasikan korupsi politik. Keputusan banyak diambil di istana tidak di gedung bundar,†kata Deny Indrayana, Direktur PUKAT UGM, Senin (24/3).
Agar KPK bisa mengambil alih kasus BLBI, jelas Deny, KPK dapat merujuk pijakan hukum pada pasal 68 UU KPK yang mengatur semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diambil alih oleh KPK.
Sedangkan posisi KPK yang tidak berada dalam supervisi Presiden, maka memungkinkan lembaga tersebut secara ketatanegaraan mengambil alih kasus BLBI palagi kasus ini sudah menyentuh level korupsi politik yang merembet ke lingkup istana. Namun demikian, tambah Deny, memang diperlukan upaya serius untuk penyelesaian kasus BLBI hingga tuntas.
Sedangkan penggantian dua petinggi kejaksaan, menurut Deny tidaklah cukup. Perlu dilakukan pemeriksaan 35 jaksa yang ditunjuk dalam penyelesaian kasus BLBI. Tak hanya limitatif tapi butuh pemeriksaan menyeluruh,†katanya.
Hal senada juga dijelaskan oleh Zainal Arifin Mochtar, salah satu staf peneliti PUKAT UGM, tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan disebutkan sebagai momentun yang cukup baik untuk membersihkan kejaksaan dari praktek kotor mafia peradilan. Semua jaksa yang terlibat perlu pemeriksaan tak hanya disiplin PNS tapi juga tindak pidana suap atau korupsi.
“Sanksi yang ditetapkan bukan disiplin PNS, harus masuk wilayah hukum pidana,†katanya.
Eddy OS Hiariej, ahli hukum pidana Fakultas Hukum UGM menamabahkan, berdasarkan pertemuan dan kajian bersama Asosiasi Pengajar Hukum Pidana yang dilangsungkan di Bandung beberapa waktu lalu juga menyebutkan rentetan kasus BLBI berawal dari krisis ekonomi di tahun 1997 dimana saat itu terjadinya rekomendasi IMF yang bermasalah dalam MSAA, terutama soal batas maksimum pemberian kredit yang dilanggar oleh obligor dan persoalan para obligor bermasalah yang bebas dari ranah hukum pidana.
“Kita telah melakukan pengkajian. Detailnya belum bisa dipublikasikan, tapi unsur pidananya ada, memang seharusnya memberi dasar KPK untuk segera ambil alih kasus BLBI,†kata Edy. (Humas UGM/Gusti Grehenson)