Mahasiswa prodi S3 Indonesia Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM, Maksimilianus Jemali, meraih penghargaan sebagai penulis proposal disertasi terbaik dalam ajang kompetisi nasional penulisan tesis dan disertasi yang diselenggarakan oleh lembaga Nusantara Institute. Dalam kompetisi yang bertajuk Nusantara Wiriting Grant, riset disertasi Maksimilianus masuk dalam daftar 10 pemenang proposal disertasi terbaik menyisihkan 130-an proposal yang berasal dari berbagai kampus di Indonesia dan mancanegara yang diumumkan pada 26 Agustus lalu.
Dihubungi pada hari Selasa (31/8), Maksimilianus mengaku tidak menyangka jika proposal disertasinya mendapat penghargaan terbaik untuk riset disertasi. Risetnya yang berjudul Hambor sebagai Narasi Kecil dalam Mengelola Konflik dan Situasi Damai di Flores, Manggarai, NTT merupakan riset soal tradisi yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat di kabupaten Manggarai, Flores, NTT, untuk menyelesaikan berbagai macam konflik yang terjadi di dalam kampung, baik di tingkat perorangan, keluarga, maupun antar suku. “Hambor dalam bahasa Manggarai yang berarti ‘damai atau harmoni’. Tradisi ini sudah ada sejak dahulu dan diwariskan turun-temurun. Dalam bahasa Manggarainya disebut, “mbate dise ame, serong dise empo, pede dise ende”,” katanya.
Putra asli Manggarai ini menuturkan Hambor semacam simpul perdamaian yang menciptakan integrasi keharmonisan dalam alam semesta. Orang Manggarai melihat semesta ini seperti jaring laba-laba raksasa. Menurutnya, setiap jaring atau elemen mesti berusaha untuk menjaga harmoninya dengan jaring yang lain. Kalau satu jaring putus, atau diabaikan oleh jaring yang lain, maka akan terjadi disharmoni atau disintegrasi. “Pemahaman ini menjadikan Hambor sebagai tradisi yang memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam keseharian masyarakat Manggarai karena diyakini sebagai entitas, tradisi yang mengharmoniskan manusia dengan semesta,” papar pria kelahiran Tuke, Ruteng Manggarai, Flores, NTT, 39 tahun lalu ini.
Melalui riset disertasi ini, kata Lian, demikian ia akrab disapa, ia ingin memperkenalkan tradisi lokal sebagai sebuah resolusi konflik dari kearifan lokal mayarakat untuk bisa diadopsi atau ditiru di tingkat nasional atau internasional. Tidak hanya sampai di situ, ia ingin Hambor bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda Manggarai untuk ikut mengeksplorasi budayanya masing-masing sebagai kekayaan Indonesia. “Kalau bukan kita, siapa lagi,”jelasnya.
Bagi Lian, tradisi hambor ini tidak hanya dipakai dalam konteks resolusi konflik yang terjadi dalam sesama masyarakat Manggarai tetapi digunakan dalam tataran yang lebih luas. Sebab, Hambor bisa digunakan untuk merajut perdamaian dengan semua orang yang hidup dan tinggal di Manggarai dengan latar belakang agama, suku, budaya, dan etnik.
“Saat ini di Manggarai ada banyak orang yang datang dari daerah lain dengan latar belakang budaya yang berbeda. Tentu, akan ada modifikasi dan revitalisasi. Namun, hambor menjadi simpul perbedaan dalam keberagaman. Jadi, hambor sebenarnya memiliki kontribusi yang krusial untuk memgembangkan perdamaian di tingkat lokal, misalnya perdamaian antarumat beragama di Manggarai. Muncul konsep “hambor Inter-religious” yang berpijak pada spirit perdamaian bersama dalam berbagai bidang kehidupan,”katanya.
Dalam konteks hukum positif, kata Lian, dari penelitian ini juga memberikan penyadaran bahwa tidak setiap permasalahan harus diselesaikan secara hukum positif. “Kami memiliki tradisi resolusi konflik yang lebih menekankan persaudaraan dan kekeluargaan, namun tetap memperhatikan keadilan bagi pelaku dan korban,”katanya.
Soal sumber riset disertasinya, Lian menggunakan kajian pustaka dan riset lapangan. Kajian pustaka lebih kepada pergeseran kajian filsafat dari modernitas kepada postmodernitas. Ia mengambil pemikiran filsuf Francois Lyotard dan Pierre Bourdieu. Lalu, dari sumber data penelitian lapangan yang berlangsung sejak Juli 2020 hingga saat ini, ia melakukan wawancara dengan berbagai tokoh adat, tokoh budaya, tokoh agama, pemerintah, akademisi, dan tokoh-tokoh muda yang ada di Manggarai. “Dari mereka saya memperoleh banyak informasi tentang Hambor dan ternyata tradisi ini sangat kaya dan memiliki makna yang sangat dalam terutama untuk orang-orang Manggarai,” ungkapnya.
Namun, yang menarik dari penelitian ini kata Lian, ia mendapat pengalaman dan pengetahuan baru serta kebanggaan baginya bahwa leluhurnya justru telah menciptakan tradisi luhur dalam bidang perdamaian yang sudah ada sejak lama dan terus dilestarikan. “Jujur sebelumnya saya tidak mengetahui tradisi ini secara komprehensif. Saya hanya mendengar sekilas saja dan itu selalu digaungkan ketika di kampung terjadi konflik. Tetapi ternyata, tradisi ini sepertinya memiliki nilai yang sangat kaya yang mesti tetap dipertahankan, dan mesti sesering mungkin dipublikasikan atau diceritakan sehingga bisa tetap dilestarikan sekaligus dikembangkan,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson