Autonomous-rail Rapid Transit atau ART merupakan transportasi publik seperti kereta tetapi berjalan di atas jalan dengan menggunakan virtual track sebagai pemandu. ART berjalan dengan bantuan teknologi Sensor Light Detection and Ranging (LiDAR) dan Global Positioning System (GPS).
Istilah ART digunakan di China, sementara di beberapa negara Eropa menggunakan istilah Trackless Tram, dan di Indonesia menggunakan istilah Trem Otonom (TO) dengan definisi yang sama. ART ini sudah diterapkan di berbagai negara, antara lain Hongkong, Casablanca Maroko, Amsterdam Belanda, dan Nanjing China.
Kelebihan ART adalah tidak mengeluarkan emisi gas pada penggunaanya, tidak bising, memiliki sistem wireless yang tidak lagi memerlukan rangkaian listrik berupa kabel di atas jalur kereta, dan dapat menampung jumlah penumpang yang lebih banyak. Meski begitu terdapat beberapa kelemahan yaitu dalam pengoperasiannya menyebabkan penurunan kecepatan untuk moda transportasi lainnya (bus dan mobil).
Jadi, di saat dioperasikan pada kondisi lalu lintas campuran (mixed traffic), ART cenderung tertunda oleh gangguan di jalurnya dan berpotensi menyebabkan kemacetan bila tidak direncanakan dengan baik. ART juga dapat menyebabkan kerusakan atau kecelakaan jika tidak dibuat rambu lalu lintas yang jelas karena adanya konflik dengan pengguna jalan.
Indonesia saat ini sedang melakukan kajian penggunaan ART dari aspek regulasi, sistem operasi dan teknis, serta pengelolaan. Terkait hal tersebut, Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM menginisiasi dengan menggelar webinar dengan tema Peluang dan Tantangan Penerapan Autonomous-rail Rapid Transit (ART) di Indonesia dalam Aspek Hukum dan Road Safety.
Webinar yang dibuka caretaker Kepala Pustral UGM, Prof. Dr. Bambang Kironoto, ini mengundang sejumlah narasumber yang berkompeten di bidangnya, antara lain Peneliti Pustral UGM, Dian Agung Wicaksono, S.H., LL.M, Brigjen. Pol. Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si. selaku Direktur Keamanan dan Keselamatan Korps Lalu Lintas Polri/Guru Besar Ilmu Kepolisian STIK-PTIK dan Dwi Ardianta Kurniawan, S.T, M.Sc dari Pustral UGM selaku moderator.
Dian Agung Wicaksono dalam paparannya menyatakan diperlukan regulasi sebagai payung hukum untuk mengakomodir penyelenggaraan ART yang mencakup lintas kementerian dan lembaga. Perlu diperjelas posisi ART masuk dalam rezim Undang-undang 23/2007 tentang Perkeretaapian atau UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Karena terdapat enam aktor yang terlibat dalam penyelenggaraan ART di Indonesia meliputi Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Perindustrian dan Pemerintah Daerah,” katanya, Jumat (3/9).
Menurutnya, masing-masing stakeholders perlu mencermati peraturan teknis di bawah kewenangannya apakah sudah mampu mengakomodasi penyelenggaraan ART atau belum. Karena itu sangat diharapkan rekomendasi pengaturan pada tingkat Peraturan Presiden yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai payung hukum penyelenggaraan ART di Indonesia.
Sementara itu, Chryshnanda Dwilaksana mengungkapkan diperlukannya sistem yang terintegrasi sebagai prasyarat penyelenggaraan ART yaitu berupa back office sebagai input data base, network, dan system application yang dapat memantau pergerakan. Sistem tersebut diperlukan untuk mencapai pelayanan prima dalam aspek administrasi, keamanan, keselamatan, hukum, kemanusiaan, dan pelayanan informasi.
“Karenanya sangat diperlukan sumber daya yang memadai yang didukung oleh Standar Operasi dan Prosedur (SOP) yang jelas baik dari sisi teknis, administrasi, maupun pelayanan,” ungkapnya.
Penulis : Agung Nugroho