Empat Mahasiswa UGM melakukan penelitian terkait Bahasa Enggano, bahasa daerah di Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu.
Lingkup penggunaan bahasa Enggano saat ini telah menyempit pada ranah keluarga dan hanya digunakan dalam lingkup pergaulan dengan sesama orang asli Enggano, acara adat yang bersifat ritual, serta pernikahan.
“Bahasa Enggano terancam punah karena hanya digunakan sebagai media komunikasi intra suku saja, sedangkan antar suku lebih banyak menggunakan bahasa lainnya, seperti Bahasa Melayu Bengkulu, Bahasa Indonesia, dan bahasa daerah lain,” terang Akhmad Khanif, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Senin (6/9).
Keunikan dari bahasa ini, terangnya, terletak pada kekhasan suku bahasa yang memiliki kekerabatan paling jauh dibandingkan dengan bahasa-bahasa di sekitarnya seperti Bahasa Melayu Bengkulu, Rejang, dan Pekal, meskipun berada dalam satu provinsi.
Bahasa Enggano mengalami keterancaman karena kebocoran diglosia, yakni fenomena yang dapat dijelaskan sebagai suatu proses di mana suatu bahasa tidak dituturkan lagi karena alasan kurangnya prestise dibandingkan dengan bahasa lain yang diposisikan sebagai bahasa superior.
Penelitian ini dilakukan Akhmad bersama dua mahasiswa FIB lainnya, Muhammad Dian Saputra Taher dan Balqis Alyamayadita Rahman, serta Kafi Dewanda dari Sekolah Vokasi. Di bawah bimbingan Dr. Aprilia Firmonasari, S.S., M. Hum., D.E.A. selaku dosen pendamping, tim ini mengungkap fenomena kebocoran diglosia pada masyarakat penutur Bahasa Enggano sebagai langkah untuk melakukan konservasi bahasa daerah.
Penelitian dilakukan secara daring di Pulau Enggano dan secara luring di Kampung Enggano, Kota Bengkulu. Dari penelitian ini mereka menemukan bahwa saat ini penutur aktif Bahasa Enggano didominasi oleh generasi tua yang melanggengkan sistem ‘ingat, terapkan, dan bawa mati’, sehingga tidak ada upaya dalam menuliskan bahasa tersebut sebagai sumber pembelajaran generasi selanjutnya.
Fenomena kondisi dan pemilihan bahasa tersebut berdampak pada pergeseran alih generasi yang terjadi karena penutur generasi muda memiliki pemahaman dan penguasaan pasif terhadap bahasa lokal.
“Diperlukan identifikasi bentuk pergeseran bahasa yang sedang terjadi pada masyarakat sehingga dapat dirumuskan model konservasi bahasa dengan menyesuaikan kondisi penutur terkini sebagai upaya mempertahankan bahasa lokal di Pulau Enggano,” imbuh Taher.
Lebih lanjut ia menerangkan, jenis kebocoran diglosia yang terjadi pada bahasa Enggano adalah alih kode atau peralihan dari satu bahasa ke bahasa lain dan hilangnya tingkat tuturan bahasa.
Selain itu, pergeseran bahasa Enggano juga dapat ditemui dalam bentuk campur kode yang merupakan penggunaan dua bahasa atau lebih yang berupa serpihan untuk memperluas ragam bahasa atau gaya bahasa dalam suatu percakapan.
Bentuk alih kode dan campur kode dilakukan sebagai usaha mempertahankan kerukunan antara masyarakat suku asli dengan masyarakat pendatang. Namun demikian, pergeseran ini telah melemahkan Bahasa Enggano sebagai Bahasa lokal dan asli dari Pulau Enggano.
Upaya Pelestarian bahasa Enggano, menurut tim ini, dapat dilakukan melalui konservasi dan revitalisasi memanfaatkan kondisi terkini dari penutur Bahasa Enggano.
“Perlu untuk membentuk lembaga seperti dewan konservasi dan revitalisasi bahasa yang bertanggungjawab dalam pelestarian Bahasa Enggano, kemudian dibagi sesuai dengan stakeholder–nya,” imbuhnya.
Penulis: Gloria
Sumber foto: www.inokari.com