Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak di khatulistiwa dengan luas wilayah sekitar 1,9 juta mil persegi yang membentang antara samudra Hindia dan samudra Pasifik. Sepertiga wilayah Indonesia adalah daratan dengan garis pantai sepanjang 95,181 km dan dua pertiganya wilayah Indonesia merupakan laut dengan garis pantai sekitar 8000 km. Garis pantai ini merupakan terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Laut Indonesia sangat luas dengan garis pantai yang sangat panjang dan matahari bersinar sepanjang tahun ini merupakan potensi utama produksi dan pengembangan garam. Dengan melihat fakta tersebut maka sangat mungkin Indonesia menjadi negara produsen garam terbesar di dunia.
Sungguh ironi, melihat potensi yang ada justru Indonesia hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan garam nasionalnya. Bahkan, setiap tahun sekitar 50 persen kebutuhan garam nasional harus dipenuhi melalui impor dan Indonesia membutuhkan garam 4,3 juta ton tahun, yang mencakup garam industri serta garam konsumsi, sementara hanya 1.8 juta ton pertahun yang dapat dipasok dari dalam negeri.
Kondisi cuaca saat yang seringkali mengalami perubahan dengan adanya pemanasan global menyebabkan cuaca ekstrem seperti El-nino dan La-nina yang diduga sebagai biang permasalahan yang berdampak sangat signifikan pada produksi garam nasional. Meski begitu, permasalah Garam Nasional Indonesia tentu tidak hanya faktor cuaca, permasalahan utama lainnya adalah aspek produksi, infrastruktur, kelembagaan, pemasaran dan supply demand.
Dalam rangka menyelesaikan permasalahan tersebut, pemerintah telah menetapkan sasaran jangka menengah dan panjang, berupa intensifikasi lahan, perbaikan dan penambahan fasilitas infrastruktur, peningkatan produksi, distribusi dan konsumsi, dan ekstensifikasi lahan garam. Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai universitas nasional dan kerakyatan melalui kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat juga telah melakukan berbagai kegiatan untuk berkontribusi pada penyelesaian permasalahan garam dan membangun kemandirian garam nasional.
Dalam bidang penelitian, terus melakukan kajian baik dari aspek teknologi maupun sosial untuk pengembangan teknologi produksi garam, infrastruktur, kelembagaan dan pemasaran dan supply demand. Bidang pengabdian masyarakat juga telah dilakukan pendampingan-pendampingan dan pelatihan terutama kepada petani garam dengan teknologi tepat guna.
Meski begitu, nampaknya permasalahan masih dominan dan kemandirian garam nasional belum terwujud. Bahkan, berdasar permasalahan dan kebutuhan pengembangan garam nasional, UGM telah membentuk Gugus Tugas Kemandirian Garam Nasional UGM (GTKGN-UGM) yang bertugas untuk mengoordinasikan pengembangan kegiatan PPkM yang lebih fokus, terencana dan terintegrasi dari berbagai sektor yang ada di UGM, sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam menyelesaikan permasalahan dan mewujudkan kemandirian garam nasional. Oleh karena itu, untuk kedua kalinya di tahun ini GTKGN-UGM menggelar kembali workshop dengan mengangkat tema Perkembangan Teknologi dan Produksi Garam Nasional.
Workshop yang digelar secara daring dalam 2 sesi, ini mengundang sejumlah pembicara diantaranya Prof. D-Ing. Misri Gozan, M.Tech., IPU dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Dr. Makhfud Effendy, S.Pi., M.Si, Kepala Laboratorium Riset dan Inovasi Universitas Trunojoyo Madura, M. Zaki Mahasin, M.Si, Koordinator Pemanfaatan Air Laut dan Biofarmakologi, Direktorat Jasa Kelautan dan Mohammad Jakfar Sodikin, Ketua Koperasi “Maju Bersama” PT Sumber Barokah.
Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, drg. Ika Dewi Ana, M.Kes., Ph. D., mengatakan sudah menjadi perhatian Universitas Gadjah Mada bersama-sama komponen bangsa lainnya melakukan kegiatan-kegiatan tridarma untuk memecahkan berbagai permasalahan bangsa. Kemudian mempelajari hal-hal yang menjadi bagian bagi masa depan bersama, salah satunya soal kemandirian garam nasional.
UGM juga fokus untuk masalah-masalah 30 tahun mendatang terkait produksi pangan. Menurutnya, soal ini jika tidak bisa dilipatkan 70 persen dari produksi yang ada sekarang maka kedepan dunia dan Indonesia akan mengalami krisis yang serius.
“Hal seperti inilah yang menjadi fokus kita di UGM, bagaimana civitas akademika bersama seluruh bangsa Indonesia mampu memecahkan berbagai persoalan bangsa dan umat manusia yang akan datang,” katanya, Rabu (8/9).
Makhfud Effendy menyatakan sumber garam dapat berasal dari air laut dan deposit dalam tanah berupa tambang, batuan garam. Oleh karena itu, teknologi produksi garam juga berkembang sesuai dengan sumber-sumber garam diambil.
Menurutnya, teknologi produksi garam yang berkembang saat ini antara lain dengan cara penguapan air laut menggunakan tenaga surya, penguapan air laut dengan menggunakan bahan bakar, penguapan dengan cara vakum, desalinasi air laut baik dengan tenaga termal atau dengan membran reverse osmosis, elektrodialisasi (ion exchange membrane) dan penambangan garam dari batuan garam.
“Sejauh ini teknologi produksi garam di Indonesia umumnya menggunakan teknik budi daya dengan penguapan air laut pada suatu lahan yang cukup luas memanfaatkan energi panas mathari (solar evaporation),” katanya.
Sementara itu, Mohammad Jakfar Sodikin menyebut banyak penilaian buruk dari pengusaha maupun pemerintah terhadap petani garam sendiri bahwa produksi garam mereka produktivitasnya rendah dan kualitasnya kurang baik. Penilaian tersebut dari tahun 2004 hingga sekarang, padahal petani garam sudah melakukan upaya dengan bantuan dari pemerintah dan sudah memakai sentuhan-sentuhan teknologi yang efektif dalam produksi atau meningkatkan kualitas garam.
Meski begitu, ia mengakui, hampir tidak ada sentuhan teknologi yang memadai dalam pembuatan garam. Teknologi pembuatan garam di petambak dinilai sangat lambat sekali, kalaupun muncul teknologi baru dikenalkan para petambak anehnya mereka juga menolak dengan alasan tidak bisa dipakai.
“Mereka selalu beralasan dari ayah saya dulu, mbah saya dulu sudah menggunakan cara-cara yang ini. Sehingga mereka ini tudak familiar dan cenderung menolak,” ucapnya.
Jakfar juga mengakui, produksi garam sangat dipengaruhi oleh panjang pendeknya musim kemarau sehingga selain persiapan produksi garam 1-2 bulan maka masa panennya hanya sekitar 3-4 bulan saja.
“Jadi, seperti musim kemarau saat ini, di tengah-tengah selain pendek juga sering terjadi mendung dan sering hujan, juga soal kecepatan angin, semakin cepat semakin bagus yang meningkatkan penguapan dan membolak balik air di kedalaman sehingga air secara merata terpapar oleh sinar matahari. Apabila kemaraunya panjang, anginnya arahnya lebih stabil dan kecepatan angin lebih bagus. Berbeda dengan kemarau yang pendek,” ujarnya.
Penulis : Agung Nugroho