Wisnu Martha Adiputra, SIP., M.Si, staf pengajar Departemen Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM, menilai kondisi penyiaran Indonesia terutama televisi swasta setelah tahun 1990 terus mengalami penurunan. Meski sempat berjaya bersama Korea Selatan saat memulai membangun industri penyiaran di tahun 1990-an dengan tayangan-tayangan yang bagus, kualitas penyiaran Indonesia justru mengalami penurunan.
“Awal tahun 1990-an sama dengan kita menjadi saat titik tumbuh. Industri tv di Korea Selatan terus bisa mendorong budaya popular Korea yang bagus hingga ke dunia, kita sebaliknya,” ujarnya di Kampus UGM, Senin (13/9).
Ia menilai masyarakat sebenarnya sudah jengah dengan kondisi penyiaran Indonesia, terutama tv swasta yang terlalu mengejar keuntungan komersial. Jauh dari konten pendidikan dan moral, asal masyarakat tertarik terutama hal-hal yang berbau selebritis, apapun kemudian disampaikan ke medianya.
Demi mengejar keuntungan komersial yang berlebihan inilah yang kemudian cenderung mengabaikan aturan-aturan (regulasi) dan norma di masyarakat. Hal ini pula yang berulangkali dilakukan tv-tv swasta dalam menghadirkan tayangan yang kurang bermutu tanpa menimbang kondisi yang terjadi di masyarakat.
“Contoh belum terlalu lama, kita melihat tayangan pernikahan selebriti yang berjam-jam hingga mengganggu ruang publik. Atau yang masih segar bagaimana televisi swasta mengglorifikasi kebebasan Syaiful Jamil dari hukuman yang begitu berlebihan,” terangnya.
Bahkan, terkait pemberitaan yang terakhir menyangkut kebebasan Syaiful Jamil, Wisnu menilai beberapa media online terlalu provokatif. Semisal dengan tulisan-tulisan Syaiful Jamil seorang yang berhati lembut dan tidak akan menuntut balik, atau dengan tulisan Syaiful Jamil tidak akan melaporkannya.
“Ini kan terbalik-balik, pelaku kejahatan seolah dianggap korban. Padahal, ia jelas-jelas pelaku atas dua kejahatan, kasus pedofilia dan penyuapan. Bahkan, penyambutan kebebasaannya pun bak seorang pahlawan, ini memperlihatkan tv swasta menghalalkan segala cara,” ucapnya.
Meski begitu, ia merasa bersyukur karena masih ada masyarakat yang peduli sehingga begitu melihat konten siaran yang tidak baik, mereka langsung bergerak dengan petisi online dan dalam dua hari mencapai 200 ribu lebih dan kini mencapai lebih dari 500 ribu. Sayangnya, KPI selaku regulator justru tidak cepat bergerak memprotes dan dinilai lambat dalam merespons.
“Tapi ya maklum juga karena di dalam KPI sendiri juga lagi menghadapi masalah kasus pelecehan seksual. Ini tentu jadi masalah karena KPI sebagai penjaga moral, bisa-bisa blunder,” paparnya.
Wisnu berpendapat agar kualitas penyiaran baik, komisioner (KPI) mestinya bisa besikap tegas terhadap konten-konten yang tidak baik karena undang-undangnya sudah ada meski lagi dalam proses perbaikan oleh DPR.
Dikatakannya, UU penyiaran ada sejak tahun 2002 dan hingga kini belum ada yang baru. Meski tengah dalam proses perbaikan, UU tersebut hingga kini belum selesai.
Meski begitu, dengan UU yang ada KPI sebagai lembaga penjaga kualitas siaran diminta membuat aturan turunan, tetapi hingga kini juga masih dalam pembicaraan sehingga pedoman perilaku siaran pun belum ada.
“Jadi, regulasinya ada tinggal penegak hukum aturannya bisa tidak menjalankan itu. Saya melihat KPI cenderung tidak memperhatikan terhadap perkembangan sehingga tidak bisa memenuhi kepentingan publik, dan nampaknya lebih dekat pada kepentingan industri makanya ya tidak aneh jika industri tv juga seenaknya,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Kompas.com