Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Nurhasan Ismail, menyebutkan sejumlah inkonsistensi dalam PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Hal ini ia paparkan dalam Webinar ”Quo Vadis Pengelolaan Pertanahan Pasca UU No. 11 Tahun 2020″ yang diselenggarakan Fakultas Hukum UGM, Senin (20/9), dalam rangka memperingati 61 tahun Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
“Dari penelitian dan pencermatan saya, PP No. 18 ada 104 pasal, memang tidak banyak yang mengalami inkonsistensi hanya sekitar 16 pasal dibanding 90 pasal yang menurut saya sudah mengandung konsistensi baik secara internal maupun vertikal dan horizontal,” ucapnya.
PP No. 18, terangnya, hanya disandarkan pada UU No.11 Tahun 2020 atau UU Cipta Kerja dan tidak menyebutkan UUPA sebagai dasar rujukan. Meskipun UUPA tidak disebutkan sebagai dasar ”mengingat”, menurutnya UUPA tetap wajib menjadi rujukan.
Salah satu pertimbangannya, UUPA berisi asas hukum sebagai hukum yang khusus sedangkan UUCK berkedudukan sebagai hukum yang umum. Konsekuensinya, UUCK tidak boleh mengandung substansi hukum yang bertentangan dengan UUPA & begitu juga halnya PP No.18 Tahun 2021
“Secara formal tampaknya PP No. 18 hanya ingin ditempatkan sebagai pelaksanaan dari UU Cipta Kerja. Tapi bagaimanapun secara substansi menurut saya tidak bisa, tetap harus UUPA menjadi rujukan secara substantif,” terangnya.
Ia memaparkan, inkonsistensi internal pada PP No. 18 yang menimbulkan perbedaan tafsir misalnya terkait dasar kewenangan pemegang Hak Pengelolaan (HPL) untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah bagi kepentingan dirinya sendiri pada pasal 7 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (1) huruf a.
Selain itu, ada perbedaan ketentuan perpanjangan HGB di atas tanah negara dengan di atas tanah HPL, yang sama-sama digunakan sebagai tempat Rusun/Sarusun.
Inkonsistensi vertikal yang ditemukan misalnya terkait asal tanah yang dapat diberikan HPL, pemberian HGU di atas tanah HPL, ketentuan saat lahirnya HGB dan Hak Pakai di atas Hak Milik, serta kepemilikan HGB oleh Warga Negara Asing.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Maria SW Sumardjono, menyebut bahwa terdapat sejumlah segi positif dari PP No. 18, salah satunya terkait ruang lingkup tanah negara.
“PP ini pertama kali merumuskan tentang ruang lingkup tanah negara secara garis besar. Perumusan yang lebih rinci dan pengaturan tentang pengelolaan dan pemanfaatannya dapat diatur dalam peraturan menteri,” terangnya.
Di samping itu, dalam PP No. 18 terdapat penegasan tentang penyelesaian dalam permasalahan tanah reklamasi dengan atau tanpa izin, pemberian hak atas tanahnya, keterlanjuran, dan akibat hukumnya.
Meski demikian, ia memberi sejumlah catatan isu krusial. Sikap terhadap pengakuan masyarakat hukum adat menurutnya masih abu-abu. Sikap terhadap tanah ulayat juga tidak jelas konsepsi dan tujuannya ketika merumuskan tentang penetapan HPL bagi masyarakat hukum adat.
Penetapan HPL untuk MHA menurutnya tidak perlu dilaksanakan karena selain tidak pas juga tidak ada dampaknya jika tidak dilaksanakan. Justru hal yang perlu diatur seperti penetapan keberadaan MHA dalam bentuk Perda yang menunjuk MHA tertentu atau dalam bentuk SK gubernur/bupati/walikota sesuai kewenangannya dan mengatur bentuk atau jenis kerugian MHA atas tanah ulayatnya jika diperlukan untuk kepentingan umum dan bentuk ganti kerugiannya.
Penulis: Gloria