Salah satu iklan yang marak saat ini adalah endorsing fashion influencer, yaitu iklan yang menggunakan popularitas seseorang serta akses keterjangkauan konsumen melalui banyak pengikut media sosial. Disamping itu, fast fashion merupakan industri tekstil yang bekerja dengan alur sepenuhnya linier. Artinya sebagian besar sumber daya tidak terbarukan diekstraksi untuk menghasilkan pakaian.
Tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) UGM Riset Sosial Humaniora (RSH) yang beranggotakan Yoga Aditya Leite (Filsafat 2018), Moch Zihad Islami (Filsafat 2018), Dian Aris Munandar (Filsafat 2018), Yuana Novita Sari (Ilmu Komunikasi 2019), Adelia Stefani Putri Kristanti (Psikologi 2019) mencoba mengeksplorasi bentuk implikasi endorsing fashion influencer terhadap konsumtifitas terhadap fesyen dengan melakukan penelitian dengan judul “Implikasi Endorsing Fashion Influencer terhadap Konsumerisme Fast-Fashion di Indonesia”.
“Menarik melihat perkembangan fesyen yang berorientasi pada konsumen, dengan adanya fashion influencer membuat reproduksi tren fast-fashion di Indonesia bertahan. Hal ini secara filosofis menyebabkan adanya sistem yang memaksa individu sebagai konsumen (secara tidak sadar maupun sadar) telah teralienasi hingga akhirnya membeli produk-produk fesyen tersebut secara impulsif,” ujar Yoga Aditya Leite.
Yuana Novita Sari, dalam bidang Ilmu Komunikasi, Fashion influencer Indonesia menggunakan komunikasi persuasif bertujuan untuk memengaruhi konsumen dalam endorsing fast-fashion. Konsep komunikasi persuasif yang dijalankan yaitu retorika komunikasi (Ethos, Logos, and Pathos). Ketiga hal tersebut menjadi pilar komunikasi persuasif yang merupakan bagian penting dari peran influencer.
Saat memaparkan hasil penelitian, Moch Zihad Islami mengungkapkan adanya perasaan ketika pemakaian pakaian akan sama dengan apa yang dipakai oleh fashion influencer dapat meningkatkan tingkat konsumsi padahal perasaan tersebut bersifat semu karena masing masing orang memiliki karakteristik tubuh dan psikologis yang berbeda.
Implikasi penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 4 pihak yang berkepentingan untuk mengelola laju konsumsi berkelanjutan yaitu konsumen dengan rasionalitas pembelian, produsen dengan kesadaran akan pelestarian lingkungan hidup, pemerintah dengan kewenangan pengawasan, serta fashion influencer dengan cara mempopulerkan tren slow fashion dan pakaian ramah lingkungan.
Penulis: Khansa