Kehadiran teknologi pakan adalah pilihan untuk membantu menyelamatkan ketersediaan dan kualitas pakan. Terlebih, tantangan ke depan terkait penyediaan pakan yang berkualitas bukan hal yang ringan. Disamping fluktuasi harga beberapa macam bahan pakan, faktor kurangnya ketersediaan pakan hijauan di musim kemarau merupakan masalah serius yang harus segera diatasi.
Dekan Fakultas Peternakan UGM, Prof. Dr. Ir. Ali Agus, DAA., DEA., IPU., ASEAN. Eng., menyatakan teknologi pakan harus memenuhi tiga syarat agar diadopsi sehingga dapat membantu menyelesaikan permasalahan umum dalam ketersediaan pakan berkualitas. Syarat-syarat tersebut adalah mudah, murah, dan hasilnya lebih baik dari teknologi yang sudah ada.
Menurutnya, teknologi pakan sangat penting di Indonesia karena beberapa alasan. Beberapa alasan tersebut antara lain kualitas pakan yang rendah, ketersediaan musiman, bahan pakan berasal dari limbah pertanian, bahan pakan asal limbah industri, dan pertimbangan rasio harga dan kualitas.
“Dengan adanya teknologi pakan, tentu akan membawa beberapa manfaat, yaitu meningkatkan kualitas dan pengawetan pakan melalui fermentasi, meningkatkan penggunaan mikronutrien (pellet), mengurangi hingga menghilangkan antikualitas pakan, dan memudahkan penanganan terkait transportasi dan penyimpanan,” ujarnya pada workshop Optimalisasi Teknologi Pakan Dalam Peningkatan Kualitas Pakan Lokal, Sabtu (18/9).
Dalam rangka menyediakan pakan berkualitas, ia pun mengaku menciptakan roadmap pengembangan teknologi pakan ruminansia. Ia merumuskan bahwa pakan ternak komplet terdiri atas hijauan segar atau limbah pertanian (jerami, pucuk tebu dan lain-lain), suplemen dan aditif (mineral, vitamin, dan zat-zat lain), dan konsentrat (energi dan protein).
“Pakan tersebut tentunya telah lengkap kandungan nutrisinya dan dapat diberikan pada ternak tanpa perlu tambahan kecuali air minum. Beberapa karya teknologi pakan yang saya hasilkan ini telah diadopsi oleh masyarakat diantaranya formula pakan konsentrat, fermented complete feed (burger pakan), suplemen HQFS/Permata, suplemen mineral Agromix, dan suplemen cair Saos Burger Pakan (SBP),”terangnya.
Sementara itu, pembicara dari Hiroshima University, Jepang, Prof. Taketo Obitsu, mengatakan beberapa bahan pakan, terutama konsentrat, di Jepang masih diimpor. Data tahun 2019 menunjukkan bahwa 77 persen dari total hijauan di Jepang telah mampu dicukupi dari produksi dalam negeri, sementara konsentrat hanya berkisar 12 persen.
“Untuk sapi perah dan sapi potong, mayoritas kebutuhan konsentrat masih impor. Karenanya kita berusaha mengembangkan teknologi pakan dengan menggunakan bahan-bahan lokal,”katanya.
Obitsu menjelaskan, untuk meningkatkan swasembada pakan, teknologi baru untuk menghasilkan silase tanaman jagung dan padi (termasuk dengan bijinya) telah dilakukan dengan dukungan pemerintah. Jepang mengembangkan silase tongkol jagung dan padi, dan jagung ditanam oleh peternak sapi perah untuk menghasilkan silase tongkol jagung.
Dewasa ini, katanya, silase tongkol jagung mulai dikenalkan di Jepang. Jagung yang akan digunakan untuk silase tersebut ditanam dengan sistem rotasi pada lahan yang subur.
“Jagung yang terdiri dari tongkol, kulit tongkol, dan kernel diawetkan menjadi silase gulung dan dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan biji jagung di dalam ransum,” paparnya.
Obitsu menyebut limbah tanaman pertanian di Jepang juga digunakan untuk bahan pakan. Tanaman umbi-umbian seperti ketela digunakan sebagai pakan ternak. Meski begitu, hijauan dari tanaman tersebut tidak begitu sering digunakan sebagai pakan dikarenakan tingginya kelembapan, rendahnya kandungan nutrisi, dan tingginya biaya prosesing.
Sedangkan Ahmad Sofyan, Ph.D., pembicara dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, menambahkan pengembangan teknologi pakan/imbuhan pakan perlu mempertimbangkan sumber daya indigenious, faktor pendukung dan penghambat dalam mendukung implementasinya baik skala industri/masyarakat.
Dalam mengembangkan teknologi pakan, menurutnya, peternak dihadapkan pada beberapa tantangan diantaranya penyediaan bahan tambahan pakan yang alami, permintaan dan ketersediaan pakan, serta peternakan terintegrasi dan berkelanjutan.
Ia menjelaskan bahwa implementasi teknologi pakan dapat berdasarkan karakteristik kelas pakan. Ada 8 kelas pakan, yaitu hijauan kering, hijauan segar, hijauan awetan, bahan sumber energi, bahan sumber protein, bahan sumber mineral, bahan sumber vitamin, dan imbuhan pakan.
Untuk hijauan kering, hijauan segar, dan hijauan awetan dapat menggunakan teknologi hot pressing (cube), amoniasi, dan silase. Untuk bahan sumber energi dan sumber protein, dapat diaplikasikan ke ternak menggunakan teknologi aflatoxin binder, enzyme/fitase, pelleting, dan crumbeling.
“Kelas pakan sebagai bahan sumber mineral dan vitamin dapat menggunakan teknologi fortifikasi dan microencapsulation. Sedangkan untuk kelas imbuhan pakan, dapat menggunakan teknologi ekstraksi, granulasi, dan freeze drying,” urainya.
Dalam workshop yang digelar secara daring, beberapa dosen Fakultas Peternakan juga turut menjadi pembicara, yaitu Ir. Cuk Tri Noviandi, S.Pt., M.Anim.St., Ph.D., IPM., ASEAN. Eng dengan topik formulasi ransum berbasis pakan lokal dengan aplikasi LCR kalkulator, Ir. Andriyani Astuti, S.Pt., M.Sc., Ph.D., IPM dengan topik kontrol kualitas dalam produksi pakan, dan Dimas Hand Vidya Paradhipta, S.Pt., M.Sc., Ph.D dengan topik teknologi fermentasi untuk preservasi dan peningkatan kualitas pakan.
Penulis : Agung Nugroho