Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM menyelenggarakan Southeast Asia Conference on Media, Cinema, and Art (SEA-MCA) pada tanggal 4 – 5 Oktober 2021. Mengusung tema “Rediscovering Southeast Asia Amidst its Multi-layered burdens”, konferensi ini diselenggarakan sebagai platform bagi para peneliti untuk berdiskusi terkait beragam isu terkini di kawasan Asia Tenggara.
“Konferensi ini diharapkan dapat membuka pikiran terkait kekayaan Asia Tenggara dalam ilmu sosial dan menjadi platform kolaborasi bagi penemuan kembali studi Asia Tenggara,” ucap kepala PSSAT UGM, Prof. Dr. phil. Hermin Indah Wahyuni.
Tema yang diangkat dalam konferensi ini, terangnya, muncul dari diskusi tim PSSAT terkait upaya yang dapat dilakukan dalam merespons perkembangan terkini di Asia Tenggara. Tidak ada kawasan yang lebih beragam daripada Asia Tenggara, dan lanskap sosial politik di Asia Tenggara menjadi semakin kompleks jika dibandingkan dengan periode waktu mana pun sebelum pandemi COVID-19.
Pada konferensi ini terdapat 79 makalah yang akan dipresentasikan oleh peserta yang berasal dari lima negara. Berbagai subtema yang akan diulas dalam konferensi ini di antaranya “Misinformation, disinformation and info-demic”, “Contesting Identities in Southeast Asian cinema”, serta “Art, democracy and human rights”.
Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UGM, drg. Ika Dewi Ana, M.Kes., Ph.D, mengungkapkan bahwa SEA-MCA 2021 sangat spesial karena membawa dimensi lain dalam mempelajari Asia Tenggara dari sisi media, sinema, dan seni.
“Kita mau belajar dari satu sama lain, bagaimana menghadapi dinamika-dinamika ini dari dalam,” kata Ika.
Sesi Panel pertama yang digelar Senin (4/10) mengangkat tema “The Fate of Journalism in The Region: Between Freedom, Security and Responsibility”. Sebagai kawasan yang dinamis, Asia Tenggara telah menunjukkan perkembangan media dan jurnalisme yang esensial dan menarik untuk dipahami serta dipelajari lebih lanjut.
Jurnalisme dan media dianggap perlu mengambil tanggung jawab besar dalam krisis kesehatan masyarakat melalui aktivitas komunikasi dan konstruksi informasi. Meski demikian, hal ini tidak selalu berjalan dengan baik akibat berbagai faktor pada konteks eksternal maupun internal media itu sendiri.
Menurut Evi Mariani Sofian, demokratisasi yang dijanjikan disrupsi digital datang dengan beban, uang dari iklan digital memaksa outlet media berubah menjadi market-driven newsrooms dan sebagai konsekuensinya meninggalkan publik.
“Organisasi pers harus bekerja bersama untuk mengembalikan kepercayaan publik dan menemukan model bisnis yang dapat memastikan kesetiaan mereka kepada publik,” ucapnya.
Penulis: Gloria