Teknologi kecerdasan artifisial (AI) mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam satu dekade terakhir. Lewat teknologi ini bisa membantu pemerintah maupun industri dalam pengambilan keputusan lewat algoritma penyajian data secara lengkap, mempermudah dalam bisnis retail hingga membantu tenaga medis dalam menjangkau masyarakat lewat layanan konsultasi kesehatan secara online. Namun demikian, perkembangan AI juga memberikan dampak negatif terhadap hak cipta dan pelanggaran hak kekayaan intelektual dan kebocoran data pribadi. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR diharapkan membuat aturan tegas soal perlindungan sekaligus penegakan hukum terhadap pelanggaran pemanfaatan kecerdasan artifisial melalui perubahan peraturan perundang-undangan maupun lewat interpretasi penafsiran hukum. Demikian yang mengemuka dalam Webinar Fakultas Hukum UGM yang bertajuk Kecerdasan Artifisial dan Tantangannya terhadap Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual, Kamis (14/10).
Dekan Fakultas Hukum UGM, Dahliana Hasan, Ph.D., mengatakan kecerdasan artifisial dan teknologi informasi mengalami perkembangan maju dan pesat. Bahkan, kecerdasan artifisial saat ini sudah marak digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat seperti penggunaan deteksi wajah untuk membuka smartphone hingga layanan data pada transaksi belanja online. “Namun, dari sisi hukum banyak tantangan dihadapi terhadap hak kekayaan intelektual,” katanya.
Wamenkumham RI, Prof. Dr. Edward O.S Hiarej., menuturkan UU tentang Hak Cipta yang ada sekarang ini belum memikirkan soal perlindungan kecerdasan artifisial sehingga perlu terobosan dalam konteks perlindungan hak kekayaan intelektual. Menurutnya, setiap UU membutuhkan penafsiran dan interpretasi bila terdapat penemuan hukum baru dimana pelanggaran tersebut tidak ditemukan dalam aturan yang ada. “Jika pembentuk UU gagal merumuskan norma maka perlu interpretasi dan penemuan hukum. AI (kecerdasan artifisial) saat ini berada pada fase dimana pembentuk UU tidak memikirkan peristiwa konkret tapi harus ada refleksi filsafati yang tidak lain adalah melindungi segenap kepentingan,”katanya.
Panji Wasmana, perwakilan dari Microsoft Indonesia, mengatakan kecerdasan artifisial mulai berkembang sejak 2016 lalu dimana AI mampu mengenali objeknya lewat deteksi wajah, kemampuan baca teks hingga kemampuan merespons bahasa. “Saat ini kita hampir tidak bisa membedakan respons manusia maupun mesin,”katanya.
Meski teknologi AI memiliki kemampuan membangun persepsi lewat pembacaan visi dan percakapan para warganet, lalu kemampuan melakukan rekognisi dengan mendalami makna tersirat dalam sebuah percakapan. Namun begitu, teknologi AI juga meninggalkan persoalan yang perlu diatur dan dicermati oleh pemerintah lewat regulasi tentang transparansi dan keamanan data pribadi agar betul-betul digunakan dengan sebaik-baiknya oleh industri dan lembaga pemerintah.
Ia menyebutkan dalam kemampuan AI deteksi wajah di awal sebelumnya tidak semuanya dibuat bisa mewakili wajah untuk semua populasi ras di muka bumi. Tidak hanya itu, soal teknologi deteksi wajah dan kemampuan pengenalan pola suara dan bahasa seharusnya dahulunya sulit diakses bagi mereka yang berkebutuhan khusus.
Penulis : Gusti Grehenson