Dewasa ini, apakah Anda masih menemukan penggunaaan peribahasa dalam komunikasi sehari-hari? Anda tentu pernah mendengar peribahasa ‘mulutmu adalah harimau-mu’, yang berarti bahwa perkataan bisa menjadi “senjata tajam” sehingga dapat menyakiti orang lain jika tidak dijaga. Namun, dewasa ini kita menemukan peribahasa yang sedikit berbeda, yakni ‘jarimu adalah harimau-mu’. Lantas apa arti dari perbedaan dan perubahan itu? Lalu, sebenarnya apa yang dimaksud dengan peribahasa itu sendiri?
Peneliti dan dosen Sastra Indonesia dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Dr. Sailal Arimi, mengatakan bahwa perubahan dari peribahasa ‘mulutmu adalah harimau-mu’ menjadi ‘jarimu adalah harimau-mu’ merupakan contoh dari fenomena dinamika peribahasa. Lebih lengkapnya Dr. Sailil menuturkan bahwa peribahasa itu bersifat dinamis, dia akan mengalami pergeseran atau penyesuaian sesuai peristiwa sosial berdasarkan waktu dan tempatnya.
“Jadi, peribahasa itu (sifatnya) dinamis. Dia (peribahasa) bergeser atau menyesuaikan (dengan) peristiwa sosial tempat dia berada sekarang. Misalnya kalau dulu kita ‘mulutmu harimau itu’ karena kita banyak berbicara, (atau) tidak menggunakan gadget. Tetapi sekarang gadget itu akan menjadi sumber bahaya kalau kita salah pencet. Oleh karena itu, muncul lah peribahasa baru yang disebut dengan peribahasa inovasi,” tutur Dr. Sailil dalam Serial Seminar Nasional Kajian Linguistik berjudul ‘Argumentasi Keperibahasaan dan Nalar Kearifannya’ yang disiarkan melalui kanal Youtube Kanal Pengetahuan Fakultas Ilmu Budaya UGM pada Rabu, (13/10).
Kita sebagai masyarakat umum, kata Sailal, mungkin mengetahui peribahasa sebagai sebuah ungkapan, kalimat atau kiasan yang indah dan estetis, berisi gambaran atas suatu keadaan, mengandung pesan atau makna tertentu, dan digunakan untuk memberikan nasihat.
Namun bagi Dr. Sailil, definisi peribahasa lengkapnya adalah media penyimpan kearifan, tempat potongan sejarah atau kebudayaan masyarakat, kemudian sebagai sarana pengungkap, ilustrator, pernyataan, dan alat penasihat yang beharga, lalu untuk menjelaskan masalah yang kompleks, atau sebagai alat komunikasi untuk mendapatkan posisi terhormat dalam masyarakat.
Dr. Saili juga mengatakan bahwa peribahasa itu bersifat universal. Setiap masyarakat di dunia mempunyai peribahasanya masing-masing. Jika dilakukan survei, dapat ditemukan peribahasa yang paling banyak diacu oleh setiap masyarakat. Hasil tersebut kemudian dapat menggambarkan nalar kearifan (paremiological minimum) dari setiap tersebut masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya masyarakat Indonesia paling banyak mengacu kepada peribahasa ‘tong kosong nyaring bunyinya’. Sedangkan pada masyarakat Jepang, peribahasa yang paling banyak diacu adalah ‘monyet sekalipun akan jatuh dari pohonnya’.
Untuk mengetahui seluk beluk perihal peribahasa lebih jauh, silahkan kunjungi tautan disini.
Penulis: Aji