Tim mahasiswa UGM melakukan penelitian terkait upaya pelestarian falsafah tuna satak bathi sanak. Tuna satak bathi sanak merupakan falsafah dan sebagai kearifan lokal masyarakat Jawa yang dijadikan pedoman oleh para pedagang angkringan di Yogyakarta.
Dari penelitian yang dilakukan, tim inipun berhasil menuju Pimnas ke-34 setelah sebelumnya menerima pendanaan penuh dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia dalam Program Kreativitas Mahasiswa-Riset Sosial Humaniora. Pimnas merupakan tahap akhir pelaksanaan PKM dan puncak pertemuan nasional perwujudan kreativitas dan penalaran ilmiah.
Salah satu peneliti, Salmanira Fahala Ratya Utami, mahasiswa Fakultas Filsafat UGM, mengatakan latar belakang pengambilan tema penelitian tersebut berdasarkan pada kepedulian terhadap pudarnya falsafah angkringan tuna satak bathi sanak seiring berkembangnya kapitalisme. Falsafah tuna satak bathi sanak secara harfiah berarti ‘merugi sejumlah uang, tetapi beruntung mendapat saudara’.
“Falsafah ini telah dipakai oleh para pelaku ekonomi terutama pedagang angkringan di Yogyakarta untuk menarik para pembeli,” ujarnya di Kampus UGM, Senin (18/10)
Sayang seiring berkembangnya kapitalisme, falsafah ini sedikit demi sedikit memudar. Kapitalisme yang memberikan kebebasan pada setiap individu untuk bersaing demi mencari laba sebesar-besarnya telah merenggut nilai kearifan lokal tuna satak bathi sanak pada pedagang angkringan.
Penelitian terhadap falsafah tuna satak bathi sanak pada pedagang angkringan difokuskan di sekitar wilayah Yogyakarta, lebih tepatnya di berbagai angkringan tradisional hingga angkringan modern yang tersebar luas di Yogyakarta. Tim dalam melakukan penelitian menggali informasi melalui survei, observasi, dan wawancara para pedagang dan konsumen angkringan, baik angkringan tradisional maupun angkringan modern.
“Hal ini kita lakukan agar penelitian ini mendapatkan benang merah komparasi antara dampak fenomena kapitalisme dan implementasi falsafah tuna satak bathi sanak pada angkringan di Yogyakarta,” katanya.
Salmanira menjelaskan angkringan sebagai salah satu kuliner kaki lima terpopuler di Yogyakarta awalnya dimaksudkan untuk membantu masyarakat kelas bawah yang lapar, namun hanya memiliki sedikit uang. Hal ini bisa dilihat dari sajian menu pada angkringan yaitu yang dijual adalah makanan sederhana yang sangat murah untuk membantu orang-orang tetapi tetap menjunjung tinggi persaudaraan.
Sayangnya, akibat perkembangan yang terjadi nilai-nilai luhur para pedagang angkringan inipun memudar. Nila-nilai yang mendasari para pedagang angkringan yang memegang filosofi bisnis Jawa tuna satak bathi sanak. Namun, mulai terkikis seiring perkembangan kapitalisme.
“Angkringan yang lazimnya identik dengan ciri khas tradisional kini mengalami pembaharuan menjadi angkringan berkonsep exclusive cafe. Kapitalisme menghilangkan ciri khas angkringan yang semula menjunjung nilai kebersamaan kini berubah kiblat menjadi pundi-pundi materi,” terang Salmanira.
Berdasar dari penelitian yang ia lakukan, Salmanira mengungkapkan pudarnya falsafah tuna satak bathi sanak terlihat dan teridentifikasi pada angkringan berkonsep modern. Meski falsafah tuna satak bathi sanak masih ditemui pada angkringan tradisional, namun mengandung ancaman terhadap pudarnya falsafah tersebut.
“Ancaman terhadap falsafah tuna satak bathi sanak pada angkringan tradisional makin menjadi manakala kapitalisme semakin menjamur. Oleh karena itu, perlu ada upaya dan strategi untuk mengembalikan kearifan lokal tersebut,” ucapnya.
Melalui penelitian ini, kata Salmanira, tim berhasil merumuskan rekomendasi kebijakan kepada Kemendikbudristek untuk dapat mengenalkan dan melestarikan kearifan lokal falsafah tuna satak bathi sanak kepada generasi muda dengan cara memasukkan kearifan lokal tersebut dalam pembelajaran muatan lokal di sekolah. Perlu pula mengadakan seminar atau penyuluhan untuk para pengusaha muda Indonesia mengenai prinsip ekonomi asli Indonesia supaya filosofi ini dapat dikenal dan dilestarikan.
“Sangat diperlukan revitalisasi terus menerus falsafah bisnis Jawa supaya kesadaran moral pebisnis Jawa dapat ditumbuhkan dengan baik,” paparnya.
Selain Salmanira, tim ini juga beranggotakan tiga mahasiswa Fakultas Filsafat UGM yaitu Latifah Nirmala, Gita Dewi Nawangwulan, dan Destiara Nuzulita.
Penulis: Agung Nugroho
Foto : Mahasiswa Jogja