Tim mahasiswa UGM meraih best essay dalam ajang The 10th Universitas Indonesia Youth Environmental Action 2021. Tim mahasiswa UGM terdiri dari Ardinata Prasmono dan Muhammad Alfimansyah (Departemen Teknik Sipil 2019) serta Farah Lucky Isnaini (Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota 2019).
Tim mahasiswa UGM berhasil meraih best essay dengan mengajukan tulisan berjudul TimbeRing: A BIM-Based Database Management System for Timber-Based Material to Support Circular Economy in Construction Projects. Adapun tema kompetisi essay yang digelar Departemen Lingkungan Hidup BEM UI kali ini adalah “Membuka Potensi Ekonomi Sirkular untuk Masa Depan Global yang Berkelanjutan”.
“Ini merupakan kompetisi rutin, setiap tahun dengan tema yang berbeda. Kita memang tidak selalu ikut, tapi ketika tema menarik ikut, seperti tahun ini,” ujar Farah Lucky Isnaini, di Kampus UGM, Jumat (22/10).
Farah menjelaskan untuk lomba UI YEA 2021 kali ini dibagi menjadi tiga subtema yaitu Circular Industrial Waste, Circular Food Production dan Sustainable Infrastructure. Tim UGM mengikuti kompetisi untuk subtema Sustainable Infrastructure.
“Kita mengikuti lomba ini karena melihat di industri bangunan konstruksi itu menyumbang dampak signifikan ke lingkungan, seperti memberikan emisi yang besar, belum lagi sampahnya, dan kita berkeinginan agar itu bisa diatasi dengan intervensi dan inovasi,” katanya.
Menurut Farah, tim mahasiswa UGM semakin mantap mengikuti kompetisi ini karena karya pemenang akan menjadi masukan bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam mengambil kebijakan. Kemantapan mengikuti kompetisi ini juga karena mendapat bimbingan dari Ir. Ali Awaludin, S.T., M.Eng., Ph.D., IPM.,ASEAN.Eng dan Tantri Nastiti Handayani, S.T., M.Eng., Ph.D.
“Karenanya selain tema yang menarik, kita mengikuti kompetisi ini juga ada semacam tantangan dan hasil tulisan akan menjadi pertimbangan dalam mewarnai formulasi kebijakan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan nantinya,” ucapnya.
Ardinata Prasmono menjelaskan latar belakang penulisan essay. Menurutnya, kota-kota memang perlu menggunakan desain pendekatan mixed-used development yang mengintegrasikan berbagai fungsi bangunan, kantor, perumahan, pertokoan, dan lain-lain untuk memaksimalkan dampak positif urbanisasi. Akan tetapi hal itu tentu meningkatkan permintaan untuk bangunan bertingkat karena urbanisasi terus tumbuh dan seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap gedung bertingkat maka kebutuhan akan bahan bangunan pun akan meningkat.
“Beton dan baja yang merupakan bahan konstruksi bangunan umum yang selama ini diandalkan memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan. Secara umum, industri konstruksi bangunan menyumbang 38 persen dari total emisi CO2 secara global,” jelasnya.
Menurutnya, industri manufaktur dan konstruksi di Indonesia menyumbang 16,3 persen dari total CO2 emisi di sektor energi. Sebagai salah satu bahan pembuat beton, semen menghasilkan 4.050 juta ton CO2 secara global, sedangkan industri baja menyumbang 7-9 persen dari emisi CO2 global. Laporan Bappenas pada tahun 2019 memperlihatkan sektor konstruksi dan pembongkaran menghasilkan 30,2 persen dari total sampah.
Oleh karena itu, penerapan prinsip Circular Economy (CE) di sektor konstruksi dan pembongkaran dapat mengurangi 5 persen dan mendaur ulang 15 persen sampah lengkap pada tahun 2030. Prinsip CE ini bertujuan untuk mendapatkan efisiensi sumber daya dan ekonomi rendah karbon dengan mempertahankan nilai material dan sumber daya dalam ekonomi selama mungkin.
Salah satu cara untuk mengimplementasikannya dalam bidang konstruksi bangunan adalah dengan menggunakan kayu massal sebagai bahan alternatif terbarukan. Ini adalah panel kayu solid yang dirancang untuk kekuatan melalui laminasi multi-lapisan,” terangnya.
Ia menjelaskan material ini memiliki banyak jenis dan keunggulan yang berpotensi menggantikan material konvensional. Dengan cara itu, dapat membangun sistem loop tertutup, efisiensi sumber daya dan meminimalkan pemborosan dari kegiatan konstruksi. Jadi, penggunaan konstruksi kayu massal akan memastikan pencapaian CE di sektor konstruksi bangunan.
Meski begitu, penggunaan kayu massal untuk menerapkan CE di sektor konstruksi bangunan tidak cukup. Banyak bangunan yang ada tidak memiliki informasi yang dapat dipercaya mengenai komposisi material dan struktur pada bangunan tersebut.
Seringkali pula desain asli, bangunan dokumen, dan data terbaru setelah renovasi mungkin tidak tersedia. Karenanya hal ini menjadikan proses pembongkaran menjadi rumit, berubah menjadi pembongkaran kemudian membuang banyak bahan.
Adanya kekurangan informasi tentang proses potensial berikut untuk material yang mampu diselamatkan dan tidak ada hubungan antara semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam industri konstruksi bangunan secara keseluruhan maka tim mahasiswa UGM dalam makalahnya mengusulkan topik tersebut. TimbeRing: sistem manajemen basis data berbasis BIM untuk material berbasis kayu untuk mendukung CE dalam proyek konstruksi dengan memecahkan berbagai masalah yang ada.
Dengan cara ini nantinya akan mendapat kemudahan pemulihan kayu untuk 3R, Reuse, Recycle, Remanufacture dalam menguatkan prinsip CE. Hal ini tentu membutuhkan akses yang mudah dan pengumpulan data dan informasi yang andal. Nantinya, kayu yang dihasilkan dari hutan lestari dan kayu bekas dari bangunan dekonstruksi akan mendapatkan Paspor Kayu (TP).
“TP ini sesungguhnya merupakan kumpulan data digital yang memuat karakteristik (jenis, fungsi), kemampuan struktur (modulus elastisitas, kuat lentur, densitas), dan Life Cycle Assessment (LCA) kayu. Data dalam TP akan diuji oleh Kementerian Perindustrian dan disimpan dalam database kayu yang disebut TimbeRing yang dapat diakses oleh semua pengguna. TimbeRing akan menjaga TP dalam skala kota dan terus memperbarui ketika ada pendaftaran kayu baru atau perubahan pada TP yang ada serta memaksimalkan penerapan CE di bidang konstruksi bangunan,” paparnya.
Muhammad Alfimansyah mengungkapkan TimbeRing sesunguhnya akan membantu banyak pihak dalam menemukan sumber daya yang sesuai ketika berkeinginan membangun sebuah gedung. TimbeRing ini terhubung dengan Building Information Modeling (BIM), khususnya BIM 7D.
“Ini adalah seperangkat teknologi, proses, dan kebijakan desain gedung, operasi dan manajemen fasilitas oleh pemilik gedung, pengelola gedung, dan pemangku kepentingan lainnya dari proses desainnya hingga dekonstruksi gedung,” terangnya.
Menurutnya, menggunakan BIM untuk mendesain sebuah bangunan akan memberikan detail keterangan menyangkut setiap bagian bangunan dan memungkinkan terintegrasi antar aspek dengan menyediakan model 3D, berupa jadwal konstruksi, estimasi harga, dan mengukur sumber daya spesifik yang diperlukan dalam proses konstruksi dalam satu set sistem sehingga dengan BIM dapat meminimalkan penggunaan sumber daya, energi, dan material serta mengurangi limbah. BIM juga menyediakan data yang diperlukan untuk mengevaluasi dan menyimulasikan konsumsi energi, konsumsi energi harian seperti AC, pemanas, pasokan air, penerangan dan lain-lain.
Sistem ini akan membuat masyarakat tertarik untuk menggunakan kayu massal sebagai bahan bangunan mereka sekaligus mempromosikan dan meningkatkan penggunaan BIM sebagai sistem manajemen bangunan. Selain memanfaatkan BIM sebagai lifecycle system management, bangunan kayu perlu menggunakan metode konstruksi modular.
“Karenanya dalam membongkar bagian bangunan harus dilakukan secara hati-hati untuk menyelamatkan material kayu untuk bisa dimanfaatkan berikutnya. BIM dalam hal ini menyediakan jenis material, kategori, pengukuran (kuantitas & volume), lokasi, dan koneksi. Dengan data-data tersebut memudahkan pekerja dekonstruksi untuk memisahkan setiap bagian material dari sebuah bangunan,” urainya.
Alfin menjelaskan perlu dilakukan pemilahan bahan bekas dengan cara disortir dan setiap bahan kayu harus didaftarkan di TimbeRing untuk pemutakhiran data. Kemudian semua TimbeRing dari berbagai kota di Indonesia terintegrasi ke Online Timber Trading, sebuah platform untuk menghubungkan berbagai pemangku kepentingan—produsen, pengguna, perancang, perusahaan remanufaktur, dan perusahaan daur ulang—sebagai pembeli dan penjual bahan kayu baru dan bekas.
“Dengan platform ini tentunya dapat menghemat biaya penyimpanan dan transportasi juga meningkatkan efisiensi karena dapat menyediakan bahan tepat pada waktunya dari lokasi terdekat,” tandasnya.
Penulis : Agung Nugroho