Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM kembali mengadakan seminar nasional berseri “Kajian Antropologi Indonesia”, Senin, (25/10). Pada putaran II seri #6, FIB yang bekerja sama dengan Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) DIY mengangkat tema “Laggai atau Nagari: Kontestasi Identitas di Mentawai”. Dalam kajian ini, seminar menghadirkan antropolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAND, Dr. Maskota Delfi, dan antropolog yang kini menjadi pengajar di Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB, Dr. Bambang Rudito.
Maskota Delfi menceritakan bahwa setelah Pemda Sumatera Barat mengimplementasikan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang berisi kewenangan daerah untuk menentukan sistem pemerintahannya sendiri (otonomi daerah), masyarakat Mentawai mengalami beberapa kontestasi identitas.
Lebih jelasnya setelah Pemda Sumatera Barat mengeluarkan Perda No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, atau yang bisa kita kenal dengan kebijakan “kembali kepada sistem pemerintahan Nagari”, masyarakat Mentawai mengalami kontestasi identitas pertama. Sistem pemerintahan Nagari diterapkan di seluruh wilayah administrasi Provinsi Sumbar dan sejatinya tidak sesuai dengan budaya masyarakat mentawai. Oleh karena itu, Perda tersebut kemudian direvisi dan pada Perda No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok pemerintahan Nagari, Kabupaten Mentawai diberikan otonomi untuk membentuk sistem pemerintahan tingkat desa sesuai budaya-nya sendiri.
Jika di kabupaten lainnya bernama Nagari, di Kabupaten Mentawai kemudian diketahui bernama Laggai. Laggai sendiri memiliki arti batu sungai. Sungai diketahui sebagai tempat dimana Uma asal atau suku asal di Mentawai bermukim.
Namun, permasalahan ternyata tidak hanya sampai disitu, penetapan Laggai sebagai bentuk sistem pemerintahan paling bawah juga turut menuai penolakan oleh sebagian masyarakat Mentawai itu sendiri, khususnya oleh masyarakat Mentawai Pulau Siberut. Lebih lanjut diketahui bahwa penggunaan istilah Laggai tersebut juga mendatangkan rasa malu bagi masyarakat Pulau Siberut. Sebab, bagi masyarakat Pulau Siberut Laggai memiliki arti sebagai buah zakar yang terletak pada kemaluan laki-laki.
“Memang kata Laggai dibuat oleh elite Mentawai dan menjadi kebanggaan bahwa itu merupakan identitas mereka. Tetapi kata Laggai di (Pulau) Seberut juga menjadikan orang merasa malu untuk menggunakannya, ada juga yang mengatakan berlawan dengan aturan adat…. Kata Laggai juga memiliki makna keterbelakangan atau kuno (bagi sebagian masyarakat lain,” ungkap Maskota
Maskota mengatakan bahwa ide penggunaan Laggai tersebut disinyalir diiniasi oleh masyarakat Mentawai wilayah selatan, Pulau Sipura dan Pulau Pagai. Laggai kemudian tidak dianggap merepresentrasi masyarakat Mentawai Pulau Siberut.
Oleh karena itu, dibandingkan menggunakan pemerintahan Laggai, Bambang Rudito mengusulkan di Pulau Siberut diberlakukan sistem pemerintahan Pulaggaijat.
“Ketika kita berbicara tentang pemerintahan dasar, maka yang lebih tepat adalah Pulaggaijat, (dimana) diterima oleh orang Siberut,” kata Bambang
Bambang menjelaskan bahwa Pulaggaijat merupakan sebuah pemukiman dengan wilayah untuk berladang, pemeliharaan ternak, wilayah tumbuhan obat dan sapou (rumah lading). Tidak hanya itu, Pulaggaijat juga diketahui telah memiliki sistem pemerintahannya sendiri, dimana dipimpin oleh Rimata sebagai pemimpin Klen dan dibantu oleh 2 orang, Sikaute Lulak dan Sikamuriat. Sikaute Lulak bertugas untuk melerai konflik serta perceraian yang sekiranya ada dalam masyarakat. Sedangkan, Sikamuriat membantu Rimata dalam menentukan upacara-upacara keagamaan dan lain sebagainya.
Penulis: Aji